Mohon tunggu...
Ina Tanaya
Ina Tanaya Mohon Tunggu... Penulis - Ex Banker

Blogger, Lifestyle Blogger https://www.inatanaya.com/

Selanjutnya

Tutup

Music Pilihan

"Funflation" Bentuk Pencarian Kebahagiaan yang Mahal

13 Februari 2024   19:10 Diperbarui: 14 Februari 2024   13:43 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Persepsi tentang kebahagiaan ada berbagai macam.  Misalnya mengatakan bahagia itu sederhana,   bahagia itu cukup dengan senyum  atau  bahagia itu ketika mampu bersyukur atas apa yang kita miliki.

Namun, dalam kamus ekonomi, justru terbalik konsep bahagia itu adalah bahagia yang mahal.  Kenapa bisa mahal? 

Adanya pergeseran nilai dalam perilaku, sikap manusia dari yang dulunya sangat konservatif dalam ekonomi saat inflasi tinggi, harus menabung.  Tapi berbeda saat ini, warga dan para milenial sangat haus dengan ekonomi mahal  seperti konser Coldplay dan Taylor Swift.

Untuk menonton konser bergengsi itu biayanya ngga murah alias mahal.  Kocek untuk anak muda  yang belum bekerja atau yang bekerja di Indonesia tapi menonton konsernya di Singapore,  biaya konser mahal sekali, belum lagi biaya transportasi dan akomodasi. 

Lalu, kenapa mereka mau mengeluarkan uang yang besar sekali hanya untuk nonton konser selama hampir 2-3 jam?  Jawabannya adalah mereka sekarang ini sedang dilanda suatu badai keinginan untuk mendapatkan pengalaman yang menyenangkan saat nonton.  Istilah kerennya adalah funflation.

Jadi sederhanaya  funflation adalah suatu terminologi baru yang merujuk kepada perilaku, sikap masyarakat yang ingin mencapai kebahagiaan dengan berbalik arah dulunya hemat dalam belanja sekarang menjadi berapa pun mahalnya harga suatu pengalaman, pasti dibelinya.

Sejumlah negara -negara yang stagnan ekonominya paska covid, merasa tersentak bahwa adanya perubahan sikap warga yang mengonsumsi entertainment itu untuk menjadi suatu pengalaman.

Adanya konser besar dan even olahraga , pesertanya langsung membludak dan hanya dalam beberapa hari saja tiket habis terjual.   Bagi para warga itu mereka menggeser keuangan  pengeluaran uang ke acara yang bisa dinikmati sebagai pengalaman langsung.

Anak-anak muda juga menunda menabung, menunda membeli kebutuhan primer demi untuk beli tiket konser.  Padahal mereka bukan dari keluarga kaya, tetapi mereka mengetahui bahwa acara itu adalah acara yang  lama dinantikan dan sangat tepat untuk ditonton.  Berbagai cara untuk mendapatkan uang beli tiket pun dilakukan oleh anak-anak muda.

Itulah yang disebut dengan funflation oleh ekonom, ditengah harga-harga bahan pokok melangit, tapi da sejumlah warga yang mau membeli harga mahal demi kenikmatan.

Singapure mendapatkan peluang dari "Funflation"

Singapore adalah salah satu negara yang menangkap peluang  perubahan sikap warga.  Dampak ekonomi dari hasil penjualan tiket dari konser 

Riset diadakan dengan melihat potensi hasil penjualan tiket,  pengeluaran dari traveller atau pengunjung khususnya mereka yang datang dari luar negeri seperti dari Indonesia, Malaysia, Brunei , berapa lama mereka akan tinggal di hotel, biaya untuk makan, dan transportasi, juga untuk tiket perjalanan, penggunaan kartu kredit .

Bahkan musisi Swift Taylor yang memiliki dan mengelola bisnis tournya sangat merasa impresif tertarik untuk lama tinggal di Singapore .

Badan Pariwisata Singapore mampu mengungkapkan rahasia para Musisi global itu  betah menggelar berhari-hari di negara itu.

Pilihan Musisi itu jatuh kepada Singapore karena infrastrukur dan fasilitas yang memadai , konektivitas, transportasi umum, dan wisatawan atau penonton merasa aman dan nyaman. Itulah faktor-faktor yang menjadi pertimbangan musisi besar mau kerasan untuk main musik di Singapore.

Juga Singapore dianggap sebagai hub  ke seluruh Asia Tenggara melalui udara, darat maupun laut.  SEluruh penonton mudah datang ke konser  tanpa halangan.

Funinflation itu fenomena permanen

Sejumlah kalangan mulai menyatakan sikapnya bahwa fenomena funflation harus diwaspadai.   Untuk menjadi bahagia itu sebenarnya tidak harus mahal. 

Ketika permintaan tiket konser besar sekali, maka harga pun akan dinaikkan . Harga tiket konser yang mahal dan gila-gilaan itu tak sesuai dengan  pendapatan warga Indonesia terutama untuk kalangan menengah ke bawah.

Harga tiket yang mahal itu bukan hanya di Singapore, tetapi di Amerika Serikat pun ikut naik.Salah seorang penonton yang diwawancarai oleh CNBC mengatakan tahun lalu dia bisa nonton 5 acara olahraga bergengsi sekarang hanya 2 saja karena mahalnya tiket yang harus dibeli.  Hal itu mengingat platform berbasis algoritma itu dapat menaikkan harga  atau menurunkan harga berdasarkan model penetapan harga dinamis.

Seorang pakar psikologi mengatakan bahwa kesenangan yang bersifat sementara itu berhubungan dengan citra diri dan harga diri. Hal ini bisa merusak jika rasa malu yang tinggi gara-gara kecemasan finansial.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun