Mohon tunggu...
Ina Tanaya
Ina Tanaya Mohon Tunggu... Penulis - Ex Banker

Blogger, Lifestyle Blogger https://www.inatanaya.com/

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Hari Nasional Lansia: Demensia Bukan Sekadar Pikun, Gangguan Makan yang Membahayakan

30 Mei 2023   19:14 Diperbarui: 1 Juni 2023   13:23 423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi menikmati masa tua. Sumber: iStockphotos/marcus chung

Menjadi tua adalah suatu hal yang tak dapat dihindari oleh setiap orang.   Setiap orang akan mencapai di satu titik , usia tua.   Pilihan yang dapat ditawarkan kepada kita adalah apakah kita ingin menjadi tua dengan sehat atau menjadi tua "dementia".

Banyak yang berangkapan bahwa demensia  adalah pikun.   Pikun jika dipandang dari sudut KBBI adalah kelainan tingkah laku atau lupa pada orang yang sudah lanjut usianya.  Contohnya ada orangtua , ibu tua pergi ke luar dari rumah, namun, dia  tidak bisa kembali ke rumahnya.  Ketika beliau ditanya  dimana tinggalnya , dijawab tidak tahu, siapa nama anaknya juga tidak tau.  Ternyata hal itu adalah sebagian kecil dari faktor demensia.

Menurut WHO, demensia adalah sindroma yang kronis dan progresif disebabkan oleh berbagai kelainan di otak yang mempengaruhi fungsi memori berpikir perilaku dan kemampuan lakukan aktivitas sehari-hari.

Kesimpulan demensia itu adalah sindrom bersifat kronis atau progresif dan disebabkan oleh penyakit otak yang mempengaruhi pemikiran, perilaku dan kemampuan dalam melakukan kegiatan sehari-hari. Kronis akan berlanjut untuk waktu yang lama, sedangkan progesif gejalan terusmemburuk.

Jenis demensia adalah Alzheimer (AD) 50-70%, demensia vaskuler (25%), demensia campuran (MD) 25% , demensia lewy bodies (LBD) 15% dan penyebab lainnya 5%.

Jumlah orang yang demensia di Indonesia di tahun 2016 ada 1,2 juta orang , hal ini akan meningkat jadi 2 juta di tahun 2030 dan 4 juta di tahun 2050.  Menurut riset yang dilakukan oleh Universtias Dr. Soetomo Surabaya, sebagian besar pasien demensia adalah lelaki (51,7%) berusia 75-79 tahun dan menderita Vascular Dementia.

Ngerinya  menurut World Alzheimer Report 2021,  demensia menjadi penyebab kematian ke-7 secara global dan penyakit dengan biaya Kesehatan tertinggi bagi masyarakat.

Sumber: dokpri-canva.com
Sumber: dokpri-canva.com

Apa faktor risiko?

Jika kita masih berusia 50an-60an, ada faktor-risiko yang perlu dipertimbangkan agar kita tidak terjebak dalam penyakit demensia.

BErikut ini adalah faktor risiko yang perlu diperhatikan dan dicegah sebelum terjadi:

1. Konsumsi alkohol berlebihan

2.Cendera kepala

3. Polusi udara

4. Pendidikan yang kurang

5.hipertensi

6.Gangguan pendengaran

7.Merokok

8. Kegemukan

9.Diabetes

10.Kontak sosial yang jarang

Penyebab utamanya otak yang terkena penyakit Alzheimer adalah berkurangnya fiber di dalam sel saraf dan kumpulan ujung saraf yang mengalami degenerasi.

Lalu bagaimana kita mengetahui gejala apakah kita terkena demensia?    Gejala klinis sangat banyak meliputi kognis, gejala neuropsikiatri, perilaku, ADL dan komorbiditas.

Inilah adalah 10 tanda-tanda atau gejala Demensia  

1. Kehilangan memori

2. Tidak bisa melakukan kegiatan yang sehari-hari

3.  Kesulitan dalam berbahasa

4. Disorientasi  waktu dan tempat

5. Sering menuduh orang lain

6. Masalah dalam meletakkan dan mencari barang kembali

7. Meletakkan barang di tempat yang salah

8.Perubahan mood

9.Kurang mengerti untuk informasi yang visual maupun spasial

10.Kurang bersosialisasi

Apabila kita menemukan orangtua, saudara atau teman yang memiliki gejala di atas dan sulit memahami apakah dia benar terkena Alzheimer atau Demensia, sebaiknya calon pasien itu diajak untuk mengambil langkah untuk mendiagnosis dan mengobati penyakit itu.   Terlebih jika  dia terlihat ada gejala awalnya ringat, menengah tiba-tiba makin meningkat demensianya.

Hambatan dari diagnosis disebabkan oleh karena kita tidak ke dokter yang dapat menyarankan untuk tes diagnosis khusus (38%0 dan kita tidak punya pengetahuan untuk menegakkan diagnosis  (37%) dan tidak punya keyakinan untuk memperbaiki kualitas hidup  (tidak bisa melakukan apa-apa) (33%).

Ada macam-macam instrume skrining demensia, mulai dari ADL , Behaviour dan Cognition. Dokter akan menentukan apakah pasien perlu categori ADL , Behaviour atau Cognition dan juga tool-tool yang dibutuhkan .

Simulasi yang dapat kita lakukan kepada calon pasien:

Llangkah pertama: mengingat tiga kata  Contohnya (pisang, matahari, kursi) atau (sungai, gunung, bulan)   atau (desa, dapur, bayi).

Langkah kedua adalah menggambar jam.  Mintalah kepada orang yang terindikasi demensia untuk menggambar semua angka yang ada di jam. Lalu mintalah untuk menunjukkan jam 10.15 (contohnya, bisa angka yang lainnya).

Langkah terakhir adalah untuk mengingat kembali tiga benda dalam langkah pertama.  

Bagi kita anak muda pasti mudah bukan?  Tapi bagi mereka yang sudah demensia Latihan ini cukup berat.

Kepikunan dengan gangguan makan:

Pasien kepikunan dengan gangguan makan meningkat. Awalnya pasien masih dapat makan sendiri. Berangsur,  pasien harus disuap , gejala terakhir pasien menolak untuk makan, bahkan ada yang sering tersedak makan.  Bagi yang tidak mau makan dan tersedak dapat berakibat malnutrisi dan infeksi paru-paru.

Masalah tidak mau makan itu tidak boleh dibiarkan begitu saja. Harus ada diagnose mengapa pasein tidak mau makan, apakah kesulitan menelan dalam jumlah besar, makan cepat, tidak mengunya, faringeal lambat?

Gangguan menelan itu bisa mengakibatkan tidak mau makan, berat badannya turun, status nutrisi  memburuk, dehidrasi, risiko aspirasi pneumonia dan ada yang terkena risiko infeksi oportunistik.

Pemeriksaan fisik , mulai dari Riwayat penyakit dahulu, penyakit keluarga, Riwayat pengobatan, sosial,  dan keluhan apakah batuk,tersedak,nyeri, perubahan pola makan, penurunan berat badan, GERD dan lain-lainnya.

Strategi penangaanan sulit menelan ada yang langsung dan tidak langsung. Yang langsung dengan stimulasi sensoris, modulasi, terapi Latihan, manuver kompensasi, biofeedback dan yang tidak langsung dengan stimulasi kognitif.

Demensia tidak bisa dihindari, tetapi perlu pengobatan dan diagnosis yang tepat dalam penangannya agar tidak makin memburuk.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun