Mohon tunggu...
Ina Tanaya
Ina Tanaya Mohon Tunggu... Penulis - Ex Banker

Blogger, Lifestyle Blogger https://www.inatanaya.com/

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Surat untuk Sahabatku di Kampung Halaman: Pembangunan Fisik Mengubah Wajah Sosial Kampung Halamanku

30 April 2023   12:48 Diperbarui: 30 April 2023   12:53 695
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sahabatku,

Apa kabar? Bagaimana keadaanmu?  Semoga kamu dan keluargamu  dalam keadaan sehat dan bahagia.   

Masih ingatkah dirimu ketika kita bertemu terakhir kali sebelum aku berangkat merantau ke Jakarta.  Pertanyaanmu sangat tajam?  Mengapa diriku harus meninggalkan kota tercinta, tempat kelahiranku.

Aku sulit menjawabnya.  Keputusan yang harus diambil karena ibuku mengatakan aku harus merantau mencari perguruan terbaik supaya aku cepat lulus dan bekerja. 

Beratnya meninggalkan  kota ini adalah kota yang penuh dengan kenangan. Kenangan manis dan buruk.  Tempat aku bisa mengenyam cinta keluarga di rumah yang sangat tenang dan lingkungan yang sangat nyaman untuk dihuni.

Aku ingat sekali  teman-teman tetanggaku yang selalu guyub jika salah satu ada yang sakit. Kami membantu untuk mencarikan dokter dan menjenguk di rumah sakit hingga dia sembuh.

Lingkungan kami sangat menyenangkan dan asri, tiap rumah punya halaman . Meskipun tidak luas, tapi tiap rumah ada pepohonan atau tanaman hijau.  Teman-temanku yang juga tetanggaku senang sekali naik sepeda jika ke sekolah.  Jalan masih lancar dan banyak pepohonan sepanjang jalan keluar dari mulut gang rumahku.   Sering disebut dengan "kampung kali" karena ada sungai kecil di sepanjang jalan raya depan gang itu.   

Jika tidak ada sepeda, aku juga sering naik becak ke sekolah. Tak ada kemacetan dan sistem transportasinya umum belum ada. Tapi aku nyaman sekali naik becak dan sepeda tanpa dikepung oleh polusi udara kendaraan .  

Ketika aku sering mudik karena masih ada ibu, aku selalu rindu untuk mencari kembali kenangan manis  kota tercinta .  Senang karena bertemu orang-orang tercinta dan sahabatku dan tetanggaku.

Waktu begitu cepat berlalu, ketika ibu meninggal sebelas tahun yang lalu, aku tak mudik lagi ke kota kampung kelahiranku.

Suatu ketika aku mendadak mendapat panggilan untuk mudik ke kota kampung kelahiranku.   

Begitu kakiku menginjak kota kelahiranku, aku dibawa oleh sahabatku yang menjemputku untuk napak tilas di rumah tempat tinggalku. 

Begitu aku berada di depan gang rumahku,  mataku langsung tertuju kepada sebuah gedung mewah dan nama logo suatu perusahaan.  Terhenyak diriku menatap perubahan total dari sebuah rumah tua besar dan luas  dengan penghuninya, seorang ibu senior yang masih ada dalam ingatanku menjadi sebuah kantor.  Kantor dengan kaca-kaca  yang tinggi  dan bertingkat dua , tak  ada lagi rumah tua dengan pohon-pohon tua.

Saat aku melanjutkan kakiku masuk ke dalam gang itu.  Kembali aku terhenyak beberapa saat, inikah rumah tinggalku yang hampir 50 tahun yang lalu  tempat aku dilahirkan dan dibesarkan dengan penuh cinta kasih.

Tertegun sejenak aku memandang rumah tuaku yang sudah ambruk digantikan dengan rumah modern minimalis berbeton meninggi dengan ketinggian tiga tingkat.  Bunga bougenville yang menjulur ke atas seperti atap menjadi taman peneduh untuk mengurangi gersangnya dan panasnya udara.   Ternyata, taman pun hilang tak bersisa, digantikan dengan rumah modern tanpa penghijauan.

Aku tak menemukan becak-becak kesayanganku.   Kutemukan banyaknya motor-motor yang lalu Lalang dan macet saat pagi dan sore hari , kebisingan dan polusinya sangat mengganggu.

Aku tertegun, tak menyangka bahwa modernisasi telah mengubah wajah  kota kelahiranku. Dulu kamu bisa bertemu denganku tanpa harus menelpon dengan gawai, cukup berteriak di depan pagar rumahku.

Kemana semua penghuni yang lama? Aku sendiri tak melihat wajah penghuni lama karena semua rumah tertutup rapat dengan pagar tinggi tanpa celah .  Sulitnya bertemu satu dengan yang lainnya.

Aku merasa sedih  melihat kampung tempat tinggalku, hanya dalam hitungan puluhan tahun, sudah berubah total, juga manusia yang berada di dalamnya.  Apakah masih ada sisa-sisa persahabatan antar tetangga yang sangat kental?

Aku ingin mengakhiri surat ini  pembangunan fisik telah mengubah perubahan sosial  di kota tempat kelahiranku, pembangunan sosial telah menghilangkan keakraban dan kebersamaan yang pernah kurasakan di tempo dulu, polusi udara yang semakin tinggi, kenyamanan tempat hijau hilang.

Salam untuk suami dan anak-anakmu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun