Masyarat yang memiliki budaya "keberhasilan hanya dilihat dari segi materi, kekayaan", membuat orang yang ingin diakui oleh masyarakat, terpaksa memilih untuk pamer kekayaan.
Penerimaan yang semu itu menjadi titik tolak bahwa banyak orang sekarang pengin pamer karena salah kaprah dari budaya "berhasil" Â atau "hedonis" yang dianggap suatu keberhasilan.
Baca juga:Â Â Investasi bukan Menggandakan Uang
Dampaknya sangat negatif karena orang ingin pamer karena hanya ingin merasa diterima bahwa "saya ini orang yang patut diterima karena punya kekayaan".
 Etika  dalam pamer kekayaan:
Sebagai seorang pribadi yang kuat, jika kita bukan seorang ASN, tetapi sebagai content creator, Â tidak perlu punya persepsi diri kita adalah lemah jika tidak pamer kekayaan, juga merasa insecure.
Kita harus mencegah perlilaku pamer kekayaan dengan mengenal lebih dalam lagi tentang siapa diri kita.  Apakah kekuataan dan kelemahan kita.  Kita harus memaafkan kelemahan yang dimiliki dan mengembangkan diri untuk mendapatkan empati . Misalnya dengan memperbanyak kegiatan sosial dan berbagi dengan orang lain.
Apabila kita sebagai seorang ASN pun ada budaya dan etika dari seorang pegawai pemerintah. Â Ada aturan tertulis bahwa seorang ASN dilarang untuk memamerkan apa yang dimilikinya (motor, mobil mewah ) di media sosial.
Kode etik sudah diterapkan dalam budaya suatu institusi. Â Tetapi sayang sekali, aturan itu memang tidak ada sanksi apabila dilanggar. Â Suatu pelanggara etika atau kode etik, seharusnya juga ada.
Ketika para ASN itu melakukan pelanggaran, mereka seharusnya tidak melawan atau anggap bahwa apa yang dipamerkan itu haknya karena itu harta pribadinya.
Para ASN harus menyadari dengan sepenuhnya  hak pribadi itu digunakan di ruang pribadi bukan di  ruang public.  Jika hal itu dilanggar tentunya akan melanggar etika pekerjaan sebagai ASN.
Belajar Hidup sederhana dari orang terkaya:
Hidup sederhana  itu bukan berarti miskin.  Tampilan sederhana bukan berarti tidak bergaya, tidak bermodal.