Mohon tunggu...
Ina Tanaya
Ina Tanaya Mohon Tunggu... Penulis - Ex Banker

Blogger, Lifestyle Blogger https://www.inatanaya.com/

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Kesehatan Mental Mahal Harganya

14 Oktober 2021   21:19 Diperbarui: 15 Oktober 2021   06:35 557
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan tubuh , mental, jiwa  itu saling terikat satu sama lain.  Jika tubuh sehat, tapi mental sakit, maka otomatis tubuh pun akan jadi sakit.

Siapa sangka jika orang yang dulunya sehat mental, tiba-tiba bisa sakit. Perubahan drastis dari  lingkungan, pandemi membuat orang bisa sakit mental.

Bayangkan selama hampir dua tahun banyak orang terpaksa berdiam dalam rumah karena adanya PPKM.  Pergerakan aktivitas yang sangat terbatas, di dalam rumah membuat seolah-oleh terpenjara jiwanya. Bukan masalah PPKM yang mendera seseorang jadi tidak nyaman, tetapi  tidak adanya atau hilangnya interaksi dengan teman sekolah, teman kerja , keluarga .

 Mental tak bisa menerima keadaan .  Bahkan, tak bisa menerima kondisi yang menyudutkan dirinya  tak berdaya, baik secara ekonomi, maupun sosial.   Ketika marah, sedih, rasa kehilangan teman, keluarga atau kerabat dekat , membuat hati kecewa dan sedih.  Sayangnya, tak ada seorang pun yang mau mendengarkan kesedihannya.   Seorang yang sedih, kecewa dan merasa tidak adil nasib buruk menimpa dirinya.

Ada satu keluarga,  yang pertama meninggal adalah anak bungsu  yang telah dewasa.  Namun, tak lama kemudian ibunya yang serumah pun ikut meninggal , hanya berbeda dalam jangka waktu sekitar 10 hari saja.  Si sulung  merasa kesedihan yang mendalam,  dalam waktu singkat dia sudah kehilangan dua orang tercintanya . Hidupnya berubah total karena  kesedihan yang  dideritanya itu tak juga hilang.  Tidak ada orang yang peduli dengan kesedihan. Tak ada orang yang datang untuk memberikan  dukungan moral.  

Kesedihan, kesepian, kehilangan  orang yang dicintai tanpa bisa bangkit lagi, membuat  orang bisa stress. Ketika stress tidak diobati atau disembuhkan  dengan datang ke psikatrer datau psikolog,  akibatnya akan fatal, dia akan depresi .    Apabila depresi yang dibiarkan berlarut-larut,  orang akan bunuh diri.

Siapa saja yang rentan sakit mental?

Ternyata bukan orang dewasa yang rentan terkena sakit mental.   Anak-anak pun mudah terkena sakit mental.  

Rumah jadi tempat bekerja, belajar, istirahat.  Bagi anak-anak yang biasanya senang dapat bertemu dengan teman, guru di sekolah, menjadi terpukul belajar di rumah.   Survei menunjukkan anak tidak suka belajar secara online.  Cara guru yang mengajar hanya dari satu sisi saja tanpa adanya  interaksi.  Guru hanya berikan tugas bertumpuk.

Apalagi jika orangtua  mengajar anaknya dengan marah-marah karena tidak mengerti cara mengajar yang sesuai dengan pengajaran zaman NOW.

Anak makin stress, lalu anak yang dulunya periang, jadi pendiam, bahkan ada yang malas untuk belajar. Kondisi yang memburuk apabila suasana rumah pun tidak kondusif untuk belajar, dan suasana pertengkaran ayah dan ibu sering terdengar.

Hal ini membuat anak-anak jadi tertekan, stress dan seringkali ancamannya mogok belajar dan tidak sadar, anak makin hilang semangat hidupnya.  Kita akan kehilangan generasi masa depan bila anak-anak ini dibiarkan sakit mental.

Hari Kesehatan Nasional

Hari Kesehatan Mental jadi perhatian  dan kesadaran kita semua untuk mengingat betapa  besarnya pasien sakit mental di Indonesia.   Sayangnya,  jumlah pasien itu tidak diikuti dengan jumlah rumah sakit.  Hanya ada 34 Rumah Sakit Jiwa Pemerintah dan 9 Rumah Sakit Jiwa Swasta.  

Demikian juga untuk jumlah tenaga Kesehatan jiwa sangat kekurangan.   Terbatasnya tenaga Kesehatan jiwa  hanya 1000 psikiater dengan 70 persen di antaranya ada di Pulau Jawa yang menangani sekitar 250.000  penduduk.   WHO menetapkan jumlah  psikiater yang ideal adalah  satu banding 10.000 penduduk.

 Fasilitas Kesehatan jiwa di Indonesia sangat tidak memadai, dari total puskemas   10.000 hanya da 6.000 puskesmas yang memiliki  dokter dan perawatan untuk orang sakit mental.

Sedihnya ,  orang-orang yang sakit jiwa pun tak punya kemampuan  untuk deteksi maupun edukasi tentang bagaimana mengatasi sakit jiwanya.

Datang ke dokter jiwa atau psikolog  menjadi stigma negative. Dianggap jadi orang gila, itulah  stigma yang sering dilontarkan oleh mereka yang jadi pasien psikolog atau psychiatrist

Layanan konsultasi melalui telemedicine  sangat membutuhkan sumber tenaga manusia yang menannnngani.    Anna Surti Ariani, seorang psikolog mengatakan bahwa seseorang yang butuh konsultasi itu bukan hanya dengan chat di whatsapplication.  Tetapi percakapan yang panjang agar diagnose dan penangangan yang tepat dapat diberikan.

Jika negara abai untuk berikan kesehatan mental bagi yang sakit, biayanya akan tinggi.  Analogi biaya, jika kita bisa menyediakan fasilitas untuk orang sakit mental, biaya per orangnya USD 1,  sebaliknya jika tidak ada fasilitas dan orang tersebut sakit mental, beban negara menjadi USD 5 (lima kali lipat).

.

Inilah mereka yang menderita sakit mental

Perempuan muda , mukanya berkerut , matanya redup , pandangannya kosong.   Dia baru berusia 14 tahun. Namun, di usia yang sangat mud aitu dia punya luka kesedihan yang mendalam.

Sejak kecil ibunya seorang janda itu telah menitipkan dirinya kepada  nenek di desa kecil.  Entah kemana ibunya. Dia sendiri tak peduli dan takt ahu nasib ibunya.   Tanpa pamit ibunya telah meninggalkan dirinya. 

Kesedihan yang mendalam , ketika nenek satu-satunya orang terdekat itu terpapar covid.   Namun, nyawa sang nenek tak bisa terselamatkan.  Covid telah mengambil neneknya.

Merenung sedih dalam kesendirian, Sari (bukan nama sebenarnya) tak paham dengan jalan hidupnya.  Hidup sepi dan sunyi, tanpa seorang pun yang mengasihi.  Kemana dia akan melanjutkan hidup tanpa orang yang dicintai dan mencintai dirinya.

Kesedihan itu sudah berlangsung cukup lama.  Orang lain tak pernah peduli, bahkan tak punya perhatian apa yang terjadi dengan Sari.

Kondisi Sari bukannya sembuh, semakin dia sering sendirian, bicara sendiri, melamun, menangis dan tak a a orang yang mau mendengar dan mengerti kepedihannya.

Bukan hanya Sari,    Dewi (bukan nama sebenarnya)  dan adiknya sudah lulus dan bekerja dengan baik. Namun, mereka berdua terkena PHK.   Keduanya  sudah bekerja keras untuk mencari pekerjaan lain.  Persaingan sengit dan  tempat kerja yang terbatas, membuat Dewi yang merasa sudah punya ijazah sarjana itu  hampir putus asa.  Dia menganggur hampir setahun.  Hatinya sedih luar biasa, merasa tak  punya masa depan.   Dia tak bisa mengadu kepada siapa pun.  Hari-harinya penuh kelabu.  Kemana dia harus mengadu?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun