Bayangin deh ketika jumlah pengguna internet di Indonesia yang aktif bermedia sosial itu sebesar 170 juta dari jumlah penduduk Indonesia 275 juta.
Besarnya jumlah pengguna media social yang cukup besar ini menjadi potensi atau target bagi para hacker (peretas) yang memiliki kepentingan kejahatan.Â
Terkait dengan jumlah angka pengguna yang besar itu, stakeholder yang paling banyak menyimpan data pribadi masyarakat adalah dari e-commerce serta lembaga pemerintah (contoh: KPU, BPJS).
Sayangnya data yang tersimpan itu tidak dijaga dengan baik, bahkan seringkali bocor karena diperjual belikan tanpa melihat bahayanya untuk diperjualbelikan
Data adalah aset penting yang harus dilindungi bahkan kerugian akibat kebocoran itu data yang sering dilakukan oleh penyelenggara sistem elektronik (PSE) secara spesifik lebih merugikan pemilik data dibandingdan dengan PSE sendiri.
Bocornya data itu entah karena belum berhasilnya untuk RUU Perlindungan data pribadi, sehingga di tahun 2020 banyak sekali data-data pribadi yang gampang sekali diperjualbelikan oleh para e-commerce maupun lembaga yang punya data besar itu.
Sebagai contoh kasus besar dari penjualan data pribadi dari Bukalapak di Mei 2020 91 juta data pengguna dan 7 juta Merchnat dijual kepada Empire. Cermati pada bulan November 2020 sebanyak 2,9 juta data pengguna dijual di dark web. Bhinneka di bulan Mei 2020 sebanyak 1,2 juta data pengguna dijual di dark Web.
KPU pada bulan Mei 2020, kebocoran 2,3 juta pemilih Indonesia pada pemiliu 2014 dijual di Raid, terakhir adalah data BPJS Kesehatan 100.002 data peserta dari 279 juta dijual kepada Raid Forums.
Security Access yang Tak Menjamin Data Terjaga
Sebagai pengguna WhatsApp, saya telah melakukan perlindungan akun saya sesuai dengan fitur-fitur yang disediakan oleh WhatsApp.
Beberapa fitur itu seperti dual verification, PIN dan fingerprint. Dual verification itu telah dilakukan dengan cara mengakses setelan, akun, verifikasi dua Langkah, memasukkan pin dan nomor telpon saya, lalu langsung diulang lagi dan selesai.