Mohon tunggu...
Ina Tanaya
Ina Tanaya Mohon Tunggu... Penulis - Ex Banker

Blogger, Lifestyle Blogger https://www.inatanaya.com/

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Peran Aktif Orangtua Sebelum Anaknya Jadi Teroris

3 April 2021   16:33 Diperbarui: 4 April 2021   11:23 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
anggunpaud.kemdikbud.go.id

Barangkali ada yang kaget dengan judul di atas. Agak provokatif?  Merujuk peristiwa sebelumnya sepasang teroris muda di Gereja Katedral di  Makasar yang bunuh diri dengan bom di Gereja itu, hati saya pun berdetak, mengapa pasangan milenial itu dapat melakukan aksi terorisme dengan mengurbankan dirinya.

Ditambah saat saya melihat cuplikan video "teroris perempuan muda yang masuk ke Mabes Polri itu mengacungkan pistolnya dan menembaki sasaran yang ditujunya.  Lalu, tak berapa lama lagi, tubuh perempuan muda teroris itu tersungkur di tanah .

Aksi terakhir di Mabes Polri itu yang dilakukan oleh seorang perempuan muda milenial.  Saya sebagai ibu hatiku benar-benar prihatin dan trenyuh melihat keberanian dan kenekatan perempuan muda itu . Nekad yang tidak benar.  

Peristiwa itu melibatkan pikiran dan emosi saya yang sulit mengerti mengapa hal itu bisa terjadi. Bagaimana hati seorang ibu tidak sedih hatinya melihat putri, putranya terlibat dalam aksi teroris.  

Tak ada seorang ibu pun yang menginginkan anaknya jadi seorang teroris.  Mengapa hal itu bisa terjadi? Bergejolak pertanyaan yang membawa saya tidak bisa tidur malam itu.

Apakah ini fenomena gunung es dari para milenial yang mudah sekali terprovokasi dengan ajaran radikalisme?

Gaya hidup para milenial itu usianya sekitar 24-26 tahun itu memang berbeda dengan milenial generasi sebelumnya.   Milenial itu sejak kecil sudah mengenal yang namanya digital atau paling sedikit punya gadget.  Gadget yang digunakan anak-anak itu memiliki konten-konten yang bermacam-macam.  

Sisi positifnya, anak-anak bisa belajar segala hal melalui digitalisasi, namun sisi lainnya anak --anak itu yang belum dibekali literasi tentang digital tidak mengenal apa akibatnya jika mereka mengakses konten yang negatif, tidak mendidik?  Mereka mudah sekali terkena paparan negatif karena mereka belum belajar mengindentifikasi mana yang benar, mana yang tidak, mana yang positif dan mana yang tidak.

Lalu siapa yang berperan atas literasi digital bagi anak yang belum punya pengalaman digital itu? Tentu orang yang terdekat dengan anak adalah orangtuanya melalui pendidikan.

Bagaimana orang tua berperan dalam pendidikan anak agar tidak terpapar radikalisme?

Pendidikan literasi digital itu bukan diberikan setelah anak dewasa. Jika diberikan setelah dewasa, sangat terlambat karena mereka akan mengatakan, tidak ada gunanya, mereka sudah bisa berpikir sendiri dan pasti menolak campur tangan  orang tua.

Justru orang tua mulai pendidikan literasi digital sejak anak itu kecil sebagai dasar dari pendidikan  Perlu diketahui sebelum mengenal literasi digital pun, orang tua harus mengerti makna pendidikan.

Pendidikan itu bermakna integratif dan komprehensif, aspek materi dan non materi.. Keberhasilannya bukan dilihat secara kognitif saja (pengetahuan) tapi tiga ranah yaitu, kognitif, kecerdasan mekanit atau otot, juga afektif .  Ketiga aspek itu harus seimbang, tidak hanya mementingkan kalitas pikiran saja, tapi juga menyangkut etika dan  kecerdasan mekanik/otot.   

Dengan demikian kita tidak menitik beratkan keberhasilan pengetahuan/kognitif atau afektif atau psikomotorik saja, tetapi ketiganya harus seimbang.

Namun, menurut Jean Piaget, teori perkembangan kognitif itu bukan  diikuti dengan perkembangan kemanusiaan, yaitu perkembangan dan kemampuan untuk memperhatikan perkembangan dinamika yang terjadi di masyarakat. 

Salah satunya adalah kompleksnya perkembangan teknologi yang kita sebut dengan digital.  Dinamika pendidikan teknologi itu mempengaruhi sosial dimana warga dituntut untuk ramai-ramai memiliki gadget untuk bisa mengakses internet .

Internet yang penuh dengan konten yang bermacam-macam itu bagi seorang anak kecil yang masih belum mengetahui bahayanya, perlu dicermati oleh orang tua.

Orang tua tidak memindahkan tanggung jawab pembelajaran atau pendidikan kepada sekolah, guru saja, tetapi justru di rumah tangga itulah terletak dasar pendidikan awal yang mampu mengarahkan semua pendidikan yang komprehensif menjadi terarah.

Cegah Radikalisme melalui pendidikan literasi digital

Cara pengelolaan digital literasi dari orang tua (digital maker) kepada anak (digital smarter) perlu bijak dan sesuai dengan tugas orangtua untuk membimbing penggunaan dan mengenal teknologi digital yang sudah merebak di seluruh  Indonesia.

Tugas-tugas literasi digital orang tua

1.Orang tua harus menambah pengetahuan tentang fitur dan cara pengoperasian teknologi digital

2.Orang tua memberikan pemahaman kepada anak tentang risiko teknologi digital , bahayanya cyber bullying, penculikan, pemaparan radikalisme

3.Memonitor aplikasi dan konten, manfaat konten (apakah ada konten yang berisi kekerasan).

4.Mengatur kesepakatan waktu penggunaan aplikasi digital

5. Sebaiknya ajak anak bermain dan belajar di ruang terbuka tanpa gadget.

Penggunaan gadget dan teknologi digital harus disesuaikan dengan usia perkembangan anak:

0-3 tahun: sebaiknya menggunakan aktivitas fisik untuk mengasah kemampuan otaknya

3-7 tahun: gunakan teknologi digital untuk mengenal warna, pengetahuan dasar , angka

7-12 tahun: berdiskusi dengan anak tentang apa yang dilihatnya di luar dari sisi digital. Lalu diskusikan mengapa konten itu tidak baik , apa alasannya, jadi tidak sekedar melarang saja.

12-18:  Menjelaskan tentang risiko bahya memposting data pribadi di media sosial, berperilaku dalam dunia maya harus baik dan sopan

Memberikan edukasi informasi:

  •  Dapatkan informasi yang baik dan benar saja
  • Cek kebenaran dan keabsahan informasi
  • Sebarkan informasi yang baik bukan hoax

Manfaat teknologi digital :

  • Eksplorasi minat bakat anak
  • .Meningkatkan kreativitas 
  • Mengasah daya nalar anak
  • Meningkatkan produktivitas anak seperti jadi blogger

Perhatikan perubahan sikap 

Sebagai orang tua harus memperhatikan sikap anak yang tak pernah bersosialisasi, bahkan cenderung  menyendiri.

Pendekatannya tentu dengan cara yang humanis.  Menanyakan apa yang sedang dihadapi? Apakah kita bisa membantunya? 

Persuasif agar anak bisa membuka diri , apa yang ada dalam pikiran, perasaannya. Tidak mudah menggali anak yang sedang "insecure".  Tetapi cara-cara kita yang sangat bijak, maka akan terbukalah pikiran dan perasaannya untuk berceritera. 

Seorang psikolog mengatakan bahwa di ruang tempat konsultasinya, ada banyak keluhan anak yang merasa "insecure" karena ada penolakan yang dilakukan orang tuanya sendiri. Apa bentuknya?   Anak sering cemas karena adanya potensi penolakan, sekaligus sering tidak diterima oleh orang tua karena orang tua hanya menerimanya secara bersyarat yakni jika ia memenuhi konsep ideal orang tua (pintar , berprestasi, karir gemilang, memilih mina sesuai dengan keinginan orang tua).  Padahal kebagiaan anak seharusnya jadi kebahagiaan orang tua , bukan?

Jangan sampai kita membiarkan anak terpapar radikalisme tanpa orang tua mengetahuinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun