Mohon tunggu...
Ina Tanaya
Ina Tanaya Mohon Tunggu... Penulis - Ex Banker

Blogger, Lifestyle Blogger https://www.inatanaya.com/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Perjalanan Inspiratif Pendiri Blue Bird, "Sang Burung Biru"

30 Oktober 2020   16:24 Diperbarui: 30 Oktober 2020   16:29 468
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lalu lintas di Jakarta begitu padat merayap pada siang hari.   Terik matahari yang panas terasa di tubuh bagi pengemudi-pengemudi di Jakarta.  Meskipun AC tetap menyala, tapi semburan dinginnya masih terkalahkan dengan panasnya udara.

Aku memandang taksi-taksi berwarna biru berlogo burung.   Mereka itu datang dan pergi menuju dan pergi ke satu tempat ke tempat lain.   Lajunya sangat gagah, dan penampilannya mengkilap.  

Berada di tengah kota yang sibuk, taksi biru memang terus beroperasi dari hari ke hari tanpa hari libur.  Armada itu hadir tanpa diketahui orang bagaimana asal mulanya.  

Mereka bagaikan sejarah yang hilang apabila kita tak bisa memandang taksi tua yang membesarkan dan membayangkan perubahan yang  terjadi sejak taksi muda sudah berkembang pesat.

Taksi tua itu bukan seonggok barang rongsokan yang tak berguna.  Taxi tua itu adalah sebuah monumen perjuangan yang tak pernah terhapus dalam kisah  perjalanan Blue Bird.

Kebanggaanya masih menyelimuti semangat dan jiwanya meskipun tubuhnya sudah renta.  Dia sudah melihat perubahan yang tak bisa dipungkiri,  taxi muda yang berkeliaran di jalanan ibukota dalam jumlah besar itu hasil keringat dari kesuksesan armada Blue Bird.

Taxi muda sudah berada di posisi yang tanggap untuk menggantikan dirinya yang sudah gontai dan langkah mundur karena usianya yang sudah tak muda lagi.

Taxi muda mengeluh : "Capainya  dan kesalnya kemacetan di Ibukota yang tak pernah terselesaikan. Tak adakah hidup yang lebih mudah dari ini? Seharian aku harus berkeliling Jakarta, debu, terik matahari, dan kemacetan".

Taxi tua tersenyum arif.   Ia menatapnya dengan ketegasan yang ada dalam hatinya , lalu menjawabanya dengan berkata: "Kamu memiliki banyak hal yang tidak pernah aku miliki saat aku semuda kamu, jangan mengeluh!"

Kemudahan dan kebesaran ini tak pernah lepas dari sebuah proes panjang dari perjuangan berat dan tangguh yang dilakukan oleh taxi tua.  

Taxi tua terdiam sejenak.   Dia tertunduk dan mengingat kembali apa yang telah dilakukannya selama bertahun-tahun mengelolanya.

Dia selalu bertahan terhadap goncangan seberat apa pun, pengemudi-pengemudi itu jadi ujung tombak dari semua rezeki bagi keluarganya . Dia hanya jadi alat untuk mensejahterakan mereka.    Anak-anak pengemudi itu ditanggungnya untuk bisa bersekolah dan dia jadi jembatan bagi kehidupan bagi orang lain.

Taksi tua itu telah menunjukkan ketahanan yang luar biasa, menembus tahun demi tahun dengan mengibarkan Blue Bird. 

Namun, payung armada yang besar itu sebenarnya ada di tangan seorang pemimpin.   Pemimpin perempuan yang pemberani, kokoh dalam mengkomando, keteguhan jiwa yang mengagumkan.

Sosok perempuan yang tak terkalahkan oleh kesulitan dan terjangan badai itu adalah Mutiara Siti Fatimah Djokosoetono. Dia dikenal dengan nama bu Djoko. Pendiri pertama Blue Bird yang punya nilai tinggi dalam pengelolaan perusahaan Blue Bird.

Kuceritakan awal mulanya Blue Bird yang penuh dengan inspiratif perjuangannya. Dimulai dari kekuatan hati seorang ibu. 

Gundukan merah yang penuh dengan taburan bunga mawar merah dan putih merupakan kesedihan bagi Bu Djoko.   Airmatanya sudah kering.   Suaminya Prof Djokosoetomo S.H. itu sudah kembali kembali ke sisiNya.   Suaminya tak pernah kembali ke sisinya.

Tapi kenangan indah tak pernah terlupakan itu selalu menyelimuti dirinya di hari-hari setelah kematian suaminya.  Mendiang suaminya adalah lelaki pendiam, tenang seperti air yang mengalir tenteram.  Bu Djoko sebaliknya, dia dinamis, selalu "hidup" dan pembicaraannya menarik untuk diikuti , bahkan mewarnai hidup.

Hidup mereka sederhana.  Meskipun suami punya jabatan terhormat di Gubernur PTIK dan PTHM, penasehat hukum Presiden RIK Soekarno, tetapi mereka tidak bergelimangan materi.

Bu Djoko sekarang harus menapaki sisa hidupnya dengan tiga orang anaknya, Chandra Suharto, Mintarsih Lestiani dan Purnomo Prawiro.  Ketiga anaknya ini jadi kekuatan hidup untuk melanjutkan perjuangan hidupnya.

Chandra dan Mintarsih masih kuliah, sementara Purnomo di bangku SMA.  Dia selalu jadi penyemangat anaknya.

"Yuk kita tinggalkan tempat ayah, dia sudah tenang. Kita harus tegak berjalan di hidup ini.., sambung Bu Djoko kepada ketiga anaknya meninggalkan pemakaman di Taman Pahlawan.

Kesederhanaan Bu Djoko itu terdidik sejak kecil. Ia dibesarkan di keluarga kaya, ia dapat mendapatkan apa saja. Namun, perubahan total terjadi dalam hidupnya. Dari seorang gadis yang dikelilingi fasilitas hidup, tiba-tiba jadi miskin.

Jadi miskin tidak membuat Bu Djoko jadi sedih.  Dia selalu membaca sebuah kisah si "Burung Biru".   Kisah yang mengharukan dari seorang gadis kecil yang miskin dan hidup dalam penderitaan.  Ia selalu berdoa untuk mendapatkan wangsit melalui mimpinya.  Lalu suatu hari ia bermimpi dan dia diperintahkan untuk mencari burung biru. Burung biru yang sulit dicari dan dicapai. 

Ia melakukan perjalanan yang panjang dan kesulitan dan godaan dialaminya. Seringkali dia ingin menyerah dan berhenti. Tapi dia tak mau mengalah dan putus asa. Akhirnya sang gadis cilik itu menemukan Burung Biru yang merubah hidupnya jadi bahagia. 

Si "Burung Biru"ini jadi kisah legendaris difilmkan di Hollywood di tahun 50-an.

Bu Djoko pergi ke Jakarta untuk melanjutkan sekolah hukum.  Ia selalu teringat kisah "Burung Biru", berjalan dan berjuanglah itulah tekad yang tak pernah padam.

Ia menumpang hidup di seorang paman di Jakarta dan dia diterima di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Di luar jam kuliah dia bekerja untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.

Saat belajar di Universitas Indonesai itu dia berkenalan dengan dosennya, Prof Djokoseotono S.H yang akhirnya menikahi dirinya.

Mendapat suami berjabatan tinggi bukan berarti dia hidup berkelimpahan.  Dia punya sikap hidup untuk bersih, kehormatan harus dijaga, jadi pegawai negeri adalah mengabdi dan tidak berkompromi.

Kesederhanaan hidup ini terus berlangsung sampai terjadinya resesi dasawarsa 50-an.    Ia bekerja sebagai dosen di FHUI dan PTIK, mengajar di FEUI dan PTHM, tapi keluarga tetap sederhana, gaji pegawai negeri berdua hanya cukup makan mereka berlima.    Walaupun rumahnya terletak di Jl. Lombok Menteng, tempat yang elit, bukan berarti dia hidup bergelimang materi.  Semua anak hanya mendapat uang saku terbatas.

Bu Djoko tidak pernah menutupi kesederhanan itu. Dia terus berusaha untuk menutupi kekurangan ekonomi dengan berjualan batik ke kolega suaminya.  Begitu batik datang, dia naik becak bersama salah satu puteranya, datang mengetok pintu  rumah koleganya.

Anaknya sering bertanya : "Bu, apakah ibu tak malu?"

Bu Joko menjawab dengan lugas: "Pekerjaan ini halal dan rezeki dan berkah kita juga bersih. Hidupmu akan lebih ringan bila segala yang kau dapatkan dengan ridha Allah!"

Sayangnya, dagang batik door to door itu tak dapat berlangsung lama. Penolakan teman-temannya untuk beli batik karena dianggap mahal di saat resesi.

Akhirnya, Bu Djoko mengumpulkan anaknya Chandra dan Purnomo: "Kita tak jualan batik lagi. Tapi ibu akan cari jalan lain.  Ibu akan berjalan telur", jawabnya dengan mata yang bersemangat dan tak pernah memperlihatkan kesedihan.

Naluri Bu Djoko memang benar, pasokan telur yang disalurkan ke pengusaha catering, hotel-hotel, kaki lima itu mulai lancar.  Bu Djoko mencari pemasok telur terbaik di Kebumen.   Setiap dua hari sekali, pemasok mengirimkan telur  dan langsung telur yang telah dipesan pedagang disalurkan pada hari yang sama.

Bu Joko selalu mengingatkan anak-anaknya : "Jalan lapang dan terang bila kita jalankan usaha dengan kejujuran!".

Anak-anaknya sudah terbiasa jadi pelayan untuk mengurus bisnis telur yang bergulir lancar. Bahkan, suatu hari Ibu Djoko dihadiahi 1 bemo dari Departemen Perindustrian. Bemo itu dibuat mengangkut telur pagi hari, sore hari dipakai untuk transportasi umum.   Anaknya, Chandra akan menarik bemo, Purnomo jadi keneknya.

Dua Mobil jadi Peluang:

Hadiah yang tak pernah dipikirkan datang dari Pemerintah untuk mendiang suaminya, Dua mobil, Fiat itu jadi gagasan bagi Bu Djoko untuk usaha taksi. Awalnya, dia berpikir kenapa harus takut jalankan usaha taksi?  Tiap kali jalankan usaha baru dia tak pernah menguasai satu hal . Dia tak ingin jadi orang yang kalah sebelum berperang.  

Dia selalu berpikir objektif  menilai kemampuannya, si "Burung Biru" mengajarkan dirinya bermimpi, berharap  setinggi mungkin.  Setiap usaha mengajarkan dirinya nilai-nilai hidup. Nilai hidup pertama keuletan , membentuknya tangguh hadapi kesulitan, selalu jadi penolong dirinya sendiri saat jatuh.Nilai keduaada perasaan positif dia pergi ke Jakarta dengan semangat ingin hidup  berarti, hidup pasti berubah, masa depan pasti cerah.  Nilai hidup  ketiga niat yang baik, diarahkan pada tujuan dengan cara yang baik. Nilai keempat komitmen,  melayani dengan baik dengan kejujuran, kesantunan, disiplin, tekad memberi yang terbaik.

Dengan semua nilai itu , Bu Djoko menciptakan bisnis taksi .  Tak mudah ,karena saat itu taksi gelap banyak sekali. Mereka anggap bisnis bu Djoko menghalanginya. Seringkali supir taksinya pulang babak belur karena dihadang pesaingnya.

Komando pun segera diberikan, Bu Djoko terus mengembangkan rasa nyaman kepada pengemudi taxi.   Dia juga tak berhenti dari dua taxi, dia mendapatkan ide untuk pinjam mobil dari koleganya untuk dibuat bisnis.

Pelayanan yang baik, pengemudi yang sopan jadi bisnis taksi yang diimpikan oleh penumpang.  Ketika Bu Djoko ingin memperluas bisnisnya jadi 100 taxi, dia harus punya izin operasi.    Tiap kali dia datang untuk mengajukan izin operasional, selalu ditanya, berapa jumlah taxi yang dimilikinya?  Kenapa Ibu sebagai perempuan berbisnis taxi (dianggapnya bisnis taxi hanya untuk lelaki).

Tak pernah mundur dari penolakan yang diterimanya, Bu Djoko anggap  penolakan sebagai pelecut, apalagi yang harus diperbaiki. Barulah setelah dia mengumpulkan semua data baik rekomendasi dari hotel dan mitra kerjanya sertai jumlah taxi yang dimilikinya, izin operasional pun diberikan.

Jalan terjal pun tak mudah, meskipun kesejahteraan karyawan pengemudi terjamin, tapi pengemudi sering mendapat provokasi oleh pengemudi pesaing yang tak gunakan argometer seperti Blue Bird, demo pengemudi Blue Bird kepada manajemen terjadi.

Bu Djoko dan anaknya tak pernah menyerah. Hidup itu penuh dengan masalah, dihadapi dan diselesaikan. Purnomo yang luwes bergaul memberikan komunikasi yang baik sehingga pengemudi mengerti dan paham kenapa Blue Bird gunakan argometer bukan sistem setoran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun