Kesederhanaan Bu Djoko itu terdidik sejak kecil. Ia dibesarkan di keluarga kaya, ia dapat mendapatkan apa saja. Namun, perubahan total terjadi dalam hidupnya. Dari seorang gadis yang dikelilingi fasilitas hidup, tiba-tiba jadi miskin.
Jadi miskin tidak membuat Bu Djoko jadi sedih. Â Dia selalu membaca sebuah kisah si "Burung Biru". Â Kisah yang mengharukan dari seorang gadis kecil yang miskin dan hidup dalam penderitaan. Â Ia selalu berdoa untuk mendapatkan wangsit melalui mimpinya. Â Lalu suatu hari ia bermimpi dan dia diperintahkan untuk mencari burung biru. Burung biru yang sulit dicari dan dicapai.Â
Ia melakukan perjalanan yang panjang dan kesulitan dan godaan dialaminya. Seringkali dia ingin menyerah dan berhenti. Tapi dia tak mau mengalah dan putus asa. Akhirnya sang gadis cilik itu menemukan Burung Biru yang merubah hidupnya jadi bahagia.Â
Si "Burung Biru"ini jadi kisah legendaris difilmkan di Hollywood di tahun 50-an.
Bu Djoko pergi ke Jakarta untuk melanjutkan sekolah hukum. Â Ia selalu teringat kisah "Burung Biru", berjalan dan berjuanglah itulah tekad yang tak pernah padam.
Ia menumpang hidup di seorang paman di Jakarta dan dia diterima di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Di luar jam kuliah dia bekerja untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.
Saat belajar di Universitas Indonesai itu dia berkenalan dengan dosennya, Prof Djokoseotono S.H yang akhirnya menikahi dirinya.
Mendapat suami berjabatan tinggi bukan berarti dia hidup berkelimpahan. Â Dia punya sikap hidup untuk bersih, kehormatan harus dijaga, jadi pegawai negeri adalah mengabdi dan tidak berkompromi.
Kesederhanaan hidup ini terus berlangsung sampai terjadinya resesi dasawarsa 50-an. Â Â Ia bekerja sebagai dosen di FHUI dan PTIK, mengajar di FEUI dan PTHM, tapi keluarga tetap sederhana, gaji pegawai negeri berdua hanya cukup makan mereka berlima. Â Â Walaupun rumahnya terletak di Jl. Lombok Menteng, tempat yang elit, bukan berarti dia hidup bergelimang materi. Â Semua anak hanya mendapat uang saku terbatas.
Bu Djoko tidak pernah menutupi kesederhanan itu. Dia terus berusaha untuk menutupi kekurangan ekonomi dengan berjualan batik ke kolega suaminya.  Begitu batik datang, dia naik becak bersama salah satu puteranya, datang mengetok pintu  rumah koleganya.
Anaknya sering bertanya : "Bu, apakah ibu tak malu?"