Mohon tunggu...
Ina Tanaya
Ina Tanaya Mohon Tunggu... Penulis - Ex Banker

Blogger, Lifestyle Blogger https://www.inatanaya.com/

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Gowes Jadi Gaya Hidup atau Kesehatan?

4 Agustus 2020   18:45 Diperbarui: 4 Agustus 2020   18:44 444
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(SHUTTERSTOCK) via kompas.com

Menariknya ada sekelompok orang yang benar-benar memanfaatkan gowes ini jadi gaya hidup yang kekinian. Hal ini dilihat dari sepeda yang mereka gunakan, brand dari luar negeri yang terkenal dan mahalnya luar biasa untuk orang awam.   Belum lagi aksesories  yang digunakan, dari pakaian lengkap , sarung tangan, kaca mata, helm , kaos kaki dan pembalut lutut  sangat serasi dan tentunya ini benar-benar jadi perhatian saya dan teman.

"Itu namanya gaya hidup," kata teman saya.""Loh, gaya hidup kekinian itu ternyata mahal yach. Hitung modalnya berapa, mulai dari sepeda "brompton harganya sekitar 50-75 juta, pakaian lengkap sekitar 300-350 ribu, helm dan sarung tangan dan lain-lainnya. Wah ngga murah loh!" seru saya.

Segera dijawab oleh Yanti, iya ngga apa-apa yang penting mereka itu niat betul untuk olahraga bukan sekedar ikut tren, kasihan modal besar hanya dipakai saat pandemi saja.

Tertegun saya atas komentar teman saya ini. Padahal, gaya hidup itu mungkin juga ada manfaatnya. Menurut seorang lifestyle designer,  gaya hidup orang urban untuk gowes yang trendy itu memang jadi salah satu identitas dari satu kelompok. Mereka ingin menunjukkan siapa mereka dan siapa "peer" dan kelompok networkingnya. Jadi gowes itu hanya alat saja, tetapi sebenarnya mereka menggunakan kesempatan gowes sebagai ajang bisnis dalam memperat networking.

Angka gowes yang saya intip dari google dari setahun memang meningkat, terutama saat bulan Maret-Juni 2020, hampir 156%. Peningkatan ini juga terlihat dari hasil penjualan sepeda di beberapa e-commerce seperti Bukalapak, Bibli. Ludes habis, bahkan toko besar yang khusus impor sepeda di Senayan City pun ikut habis, harus beli indent menunggu beberapa bulan.  

Apakah ini yang disebut dengan fenomena "Looking Glass"? Suatu fenomena untuk memperlihatkan dirinya sendiri kepada orang lain tentang gengsi jika saya naik sepeda atau gowes. Saya bisa ikut tren.

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan paradigma itu, tetapi yang benar adalah bersepeda itu harus berbanding lurus dengan kesehatan dengan mengikuti protocol kesehatan saat bersepeda.

Dalam industry sepeda pun hal ini sangat suatu hal yang mengejutkan, dikatakan oleh seorang pelaku industry sepeda bahwa  semua penjual bisa melakukan cuci gudang.

Hal ini tidak pernah terjadi selama hampir 25 tahun. Jika boleh dikatakan industry sepeda hampir tenggalam, muncul sedikit saat ada event olahraga nasional, kemudian hilang lagi. Penjualan tahun 2014 hanya 5 jutaan, tapi di tahun 2019, mencapai 8 juta, termasuk kategori sepeda lipat, MTB dan MBX. Sayangnya hanya 30% dari komponen sepeda diproduksi di sini, sisanya hampir 70% masih diimpor. Tentu hal ini sanagt mengejutkan dan inilah yang jadi jawaban kenapa harga sepeda begitu mahal.

Jika ditanya kenapa tidak diproduksi semuanya di dalam negeri, hal ini sangat berkaitan dengan supply dan demand. Saat demand hanya sedikit, memproduksi spare parts dalam jumlah sedikit jatuhnya akan lebih mahal ketimbang impor. Oleh karena itu dalam skala kecil mesti impor.  Semoga jika kebutuhan sepeda ini berlangsung berkelanjutan, impor tidak diperlukan lagi sehingga harga sepeda pun bisa turun dan warga yang ingin memiliki sepeda lebih banyak. 

Gowes demi kesehatan!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun