Beberapa bulan yang lalu, saya kagum dengan foto  para tenaga medis di media sosial dengan membawa poster (setiap orang bawa poster) dengan tulisan " Bantu Kami yang Sedang Berjuang Dengan #DiRumahAja".
Ada lagi yang bawa poster cukup membuat hati trenyuh , Â poster yang dibawa oleh para medis itu berbunyi #StayatHomeandHelp Us.
Wah baca semua poster itu rasanya kami sebagai warga biasa, bangga benar dengan dedikasi dan kerja serta semangat para perawat sebagai garda terdepan untuk membantu mereka yang sudah harus jadi pasien Covid-19.
Ngga main-main para perawat dan dokter itu banyak yang juga terpapar kena Covid -19 karena mereka tertular dari pasien-pasien yang dirawatnya.
Risiko besar bagi para perawat dan tenaga medis lainnya seperti dokter saat mereka bertugas di Rumah Sakit merawat dan memberikan pengobatan dan monitor para pasien Covid-19.
Virus ini sangat berbahaya sekali, beberapa tenaga medis pun tak luput dari paparan virus. Â Apabila mereka sedang lemah imunitasnya, Â maka dengan mudah mereka terpapar virus.
Walaupun mereka sudah menggunakan APD lengkap yang berat dan harus dipakai selama mereka bertugas, tetap saja virus itu bisa menulari mereka. Â Membayangkan, beratnya dan panasnya APD yang harus dikenakan selama bertugas. Â Tugasnya tidak hanya 10-15 menit, bisa sampai berjam-jam.
Nach, di lain sisi, saya jadi terkejut dan tercengang minggu lalu, tepatnya pada tanggal 20 Mei 2020, BUpati Ogan Ilir Ilyas Panji Alam memecat 109 tenaga  medis di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) OGan Ilir.
Alasan pemberhentian tenaga medis dengan tidak hormat itu dilakukan dengan pertimbangan matang.
Pertama, agar operasional RSUD Ogan Ilir tidak terganggu. Kedua, penerimaan tenaga medis baru bisa dilakukan. Ketiga, aksi protes dengan mogok tidak bekerja sebagai tenaga medis tidak berdasar. Â Keempat, tenaga medis itu menolak menangani pasien Covid-19.
Loh kok bisa yach tenaga medis ini mogok kerja dan menolak menangani pasien covid-19 hanya gara-gara (menurut para tenaga medis) tidak adanya alat pelindung diri (APD) yang minim dan fasilitas rumah singgah yang memadai untuk istirahat atau tempat setelah mereka bekerja  dan minimnya insentif.
Agaknya, tingkah laku dan persepsi tenaga medis ini agak kelewatan atau ada yang menyebut sebagai "kolokan" atau "demanding" atau "banyak menuntut" .
Mengerti bahwa apa yang dituntut itu perlu sekali bagi pekerjaan mereka. Â Tetapi tidak berarti mereka harus mogok kerja. Â Sampai supir ambulance pun ikut-ikutan mogok, padahal RSUD ini sedang kalang kabut menangani pasien.
Terpaksa para TNI pun ikut dikerahkan untuk membantu  merawat pasien dan jadi supir ambulans.
Pada kenyataannya setelah dicek kepada Bapak Bupati, Â insentif sudah ada, Rumah Singgah pun telah disediakan 34 kamar dengan Kasur dan AC. Â APD yang dikatakan minim itu jumlah ribuan.
Sadar bahwa mereka sebenarnya menggugat tuntutan yang tak masuk akal, maka Bapak Bupati  Ilyas segera memutskan untuk memecat mereka dan mencari pengganti yang baru untuk menangani pasien.
Para perawat yang kena pemutusan kerja itu menyesali dan mereka mengharapkan untuk dapat bekerja kembali. Namun, nasi telah jadi bubur, Â keputusan itu sudah ditetapkan. Â MEreka tak bisa kembali bekerja.
Semuanya ini jadi pelajaran penting bagi para perawat yang banyak menuntut di saat Covid-19. Â Kondisi memang memprihatinkan, kerja keras dulu baru insentif itu akan datang dengan sendirinya.Â
Kita semuanya percaya bahwa apa yang dilakukan baik terhadap sesama, akan dibalas baik pula kebaikan kita oleh Allah.
Semoga pelajaran berharga ini cukup satu kali saja terjadi, tidak ada lagi karena perjalanan proses Covid-19 ini masih panjang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H