Mohon tunggu...
Ina Tanaya
Ina Tanaya Mohon Tunggu... Penulis - Ex Banker

Blogger, Lifestyle Blogger https://www.inatanaya.com/

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Dilema "Work from Home" Berlanjut Setelah "New Normal", Disrupsi Keputusan Perusahaan

26 Mei 2020   18:52 Diperbarui: 27 Mei 2020   17:35 260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sudah hampir tiga bulan sejak Maret 2020, anak saya bekerja di rumah.   Pola bekerja di rumah bukan hal baru lagi .   Hal ini terpaksa dilakukan karena adanya pandemi covid 19.

Perusahaan langsung memberlakukan agar karyawannya bisa tetap bekerja walaupun di rumah.   Infrastruktur belum disiapkan karena peristiwanya mendadak terjadi.   

Namun, dengan berjalannya waktu , perusahaan-perusahaan terutama di Jakarta mulai mengubah pola kerja yang tak pernah terpikirkan, work from home (WHF),  itu jadi pola baru.   

Hampir pekerja yang terbiasa dengan teknologi, mulai terbiasa dengan work from home. Meskipun terlihat sederhana, tetapi sebenarnya bekerja dari rumah atau jarak jauh punya konsep dan sistem berbeda dengan bekerja  di kantor secara konvesional

Konsep Work from home akan dilanjutkan oleh  perusahaan-perusahaan apabila pekerjanya merasakan adanya  work life balance.  Apakah pegawai cukup merasakan adanya keseimbangan antara hidup untuk bekerja dan hidup untuk keluarga.  

Umumnya,  banyak yang mengeluh tidak dapat konsentrasi pekerjaan apabila pekerja itu tak punya tempat khusus untuk bekerja, tidak disiplin atau tidak punya perangkat yang baik untuk bekerja

Bagi perusahaan tentunya harus mempertimbangkan apakah karyawan perlu hadir ke kantor atau tidak. Lalu bagaimana menentukan performance kerja seorang karyawan karena WFH tidak bisa ditentukan dengan kehadiran, tetapi dengan produktivitas. 

Lalu produktivitas pun harus dijabarkan dengan sangat jelas, apakah suatu projek diselesaikan sesuai dengan waktu yang ditentukan, atau target tercapai sesuai dengan waktunya.  Pengukuran pencapaian itu harus dirumuskan dengan baik.

Pertimbangan lainnya adalah status dari karyawan.  Status karyawan, apakah lajang, menikah, memiliki anak, memiliki anggota keluarga.

Ini penting bagi perusahaan karena budaya mengurus rumah tangga diterapkan sesuai dengan fungsi dari status karyawan yang bersangkutan.

Pertimbangan lainnya adalah apakah perusahaan perlu berikan dukungan teknologi seperti listrik, internet, computer, alat tulis, akses jurnal.   Peralatan untuk keperluan kantor seharusnya dibedakan dengan keperluan pribadi.

Paling penting lagi adalah ketika karyawan harus kerja di rumah, segala biaya listrik, internet, apakah akan dibebankan kepada kantor.  Memang di satu sisi, perusahaan punya dalih, bahwa perusahaan tidak bisa mengkompensasi keperluan listrik tiap karyawan karena dia tetap punya biaya tetap , sewa kantor umumnya dilakukan jangka panjang (long term), tidak dilakukan short term/jangka pendek.

Bagaimana suara para pekerja?

Bisa saja perusahaan melakukan pola baru untuk para karyawannya dengan WHF.  Tapi apa jadinya apabila para karyawannya merasa tidak "happy " karena bekerja WHF itu tidak sama bagi setiap karyawan.

Jalan satu-satunya untuk memutuskan apakah perlu diteruskan WHF atau tidak, mulailah dengan adakan survei kepada seluruh karywan.

Dengan survei, akan mendapatkan gambaran yang tepat apa yang diinginkan oleh karyawan.

Ada surprise dari sebuah survei yang dilakukan oleh perusahaan teknologi OWL Labs berjudul State of Remote Work 2019.   OWL  dilakukan kepada 1.200 pekerja dengan perbandingan 62 persen pekerja jarak jauh dan 38 persen pekerja di kantor.

Hasilnya adalah pekerja yang menginginkan bekerja jarak jauh masih besar dibandingkan dengan mereka yang harus bekerja di ruangan.  42% pekerja jarak jauh itu ingin melanjutkan pola kerja jarak jauh .

Sementara 19 persen pekerja di kantor yang terpaksa harus bekerja di kantor, itu juga menginginkan pola jarak jauh.

Alasan para responden itu menginginkan bekerja jarak jauh ternyata beragam. Ada yang mengatakan ingin bekerja seimbang.  Lainnya , untuk seimbangkan dalam mengurangi stress karena kemacetan dan mengurangi stress pekerjaan.

Hanya masih ada permintaan dasar dari para pekerjaan itu yaitu perusahaan harus memberikan kompensasi permintaan kesehatan dan kompensasi dasar (listrik,internet)

Bagaimana suara para manajerial?

Ternyata para manajerial pun ingin mengutarakan suaranya.  Walaupun mereka itu sudah terbiasa dengan pelatihan untuk bekerja secara mandiri, tetapi yang jadi masalah adalah jawaban dari timnya yang tidak terlihat kasat mata itu dapat dipercaya atau tidak.  

Kadang-kadang komunikasi efektif itu hanya sekedar dengan apa yang terlihat, tidak bisa melihat apa yang tidak terlihat.  Apalagi jika tim kerjanya itu tak memperlihatkan hasil kerjanya dengan tuntas.

Persiapan tim kerja, para pekerja harus dimatangkan oleh perusahaan.

Disrupsi telah berlaku di sebagian besar perusahaan di Amerika, Twitter, Facebook, bahkan hampir IBM pun sudah lama menerapkannya.   Jumlahnya terus meningkat,  bagaimana dengan tren di Indonesia?

Sudahkan perusahaan di Indonesia siap untuk disrupsi dan memberlakukan WHF untuk kelanjutan dari New Normal?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun