Setiap jelang Idul Fitri, saya ikut sibuk untuk mempersiapkan kepulangan alias mudik bagi pembantu saya. Â Serasa saya sendiri yang akan mudik, saya selalu ikut repot dengan persiapan mudik.
Awalnya, dua bulan sebelum Lebaran, saya memastikan apakah pembantu sudah dapat tiket mudik. Â Seringkali terjadi silang pendapat terjadi. Â "Mbak, kamu sudah tiket kereta api atau bus buat mudik!"
"Bu, saya mau naik motor saja bersama suami!"
"Deg!"Â
Langsung saya jawab, "Wah mbak saya tak setuju, jika kamu naik motor, itu sangat melelahkan dan berbahaya bagi kamu dan suami . Risiko tinggi, sekarang khan banyak kecelakaan motor saat mudik!"
"Bu, repotnya kalo naik bus atau kereta, nanti harus sambung dengan bus kecil dan naik angkot lagi, biayanya tambah-tambah . Terus nanti kalo di kampung repot ngga ada motor!" jelasnya.
Oh ternyata apa yang saya pikir berbeda dengan apa yang dipikirkan oleh pembantu. Â Saya berpikir tentang keselamatan, sementara dia berpikir tentang biaya dan praktisnya.Â
Akhirnya, saya menyerah karena yang akan mudik adalah dia sendiri.
Trus gimana kamu sudah bawa oleh-oleh buat anakmu. "Yach, saya belum beli ini , Bu!" jawabnya dengan singkat.
Uang THR pun dipercepat supaya dia bisa membeli oleh-oleh untuk anak perempuanya yang dititipkan kepada si embah (orangtua pembantu).Â
 "Ech, jangan lupa beli oleh-oleh juga buah si Mbah yach!"