Mohon tunggu...
Ina Tanaya
Ina Tanaya Mohon Tunggu... Penulis - Ex Banker

Blogger, Lifestyle Blogger https://www.inatanaya.com/

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Kisah Keindahan Sarung dari Kampung Tenun Sa'dan To'barana

14 Mei 2020   09:31 Diperbarui: 14 Mei 2020   09:33 1167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sedihnya meninggalkan Kampung Tenun, Sa'dan To'barana di Toraja utara  Desa yang letaknya di desa Malimbung, 16 km dari Rantepo. Sejak kecil Rena sudah dibesarkan dengan adat istiadat  Toraja yang kental dengan banyak ritual .  Ritual pemakaman bagi bangsawan, ritual pernikahan.

Kegalauannya untuk tetap tinggal atau pergi dari desa itu.  Sebagai anak yang paling besar dari empat bersaudara, sikapnya pendiam.  Dia tak pernah mengeluh jika ibunya memintanya untuk mengurus keempat adik-adiknya.

Dia  tak pernah  pergi sejauh yang ia inginkan. Bayangan ibu yang selalu menghantui dirinya .  Ibu yang tak pernah lepas dari dirinya.

Belasan tahun dia tak pernah mau meninggalkan tanah kelahirannya.  Setiap jengkal dari tanah yang dipijaknya mengingatkan sejarah dari hidupnya.

Rumahnya hanya bersebelahan dengan rumah Tongkonan (rumah bangsawan).   Keluarganya sendiri bukan keluarga bangsawan.  Ayahnya sebagai petani, ibunya penenun sarung ikat.   Sarung ikat jadi tumpuan untuk menghidupi keluarga.

*****

Sejak kecil dia tak bisa lagi sekolah,  sekolah baginya suatu keistimewaan yang tak bisa diperoleh untuk keluarga biasa.  Walaupun keluarga ayahnya ada yang jadi bangsawan sekalipun, dia tak berhak untuk minta bantuan . Ibunya dianggap bukan dari bangsawan, dari keluarga biasa.  Keluarga biasa tak boleh minta bantuan kepada bangsawan. Ada perbedaan tingkat sosial yang membuat hatinya sedih.

Kehadirannya di dunia ini bagaikan "kelam", nasib  yang tak bisa dirubah .  Dia melihat redupnya mata pencarian ibunya dari hari ke hari.

Seharian jadi penenun Sa'dan to"barana .   Tangan dan kakinya terus bergoyang mengikuti irama dari benang-benang yang dikaitkan.  Begitu indahnya kain  Toraja bercorak cerah oranye, kuning , merah, putih dan hitam.  Kain-kain Toraja itu dijadikan sarung yang dikenakan pada ritual, sudah sangat terkenal di seluruh dunia.

Sayangnya kepopuleran sarung toraja itu tak sepadan dengan penghidupan keluarga Rena.  Hidup keluarga penenun hanya cukup untuk makan seminggu saja.  Padahal kerja siang malam tak hentinya, apalagi jika ada permintaan dari Kementrian Pariwisata.  

Rena  diminta menggantikan pekerjaan ibunya yang sakit-sakitan akhir ini.   Tapi hati kecilnya sudah tak lagi sanggup jadi penenun.  Dia tak ingin terperangkap dalam hidup kelam sebagai penenun.  Impiannya untuk bisa mendapatkan uang lebih banyak jika bekerja di luar pulau.

Tawaran yang sangat menggiurkan datang dari seorang teman sekampung yang sudah bekerja di Bali. Dia katakan kepada Rena, bekerja sebagai "pegawai di hotel bintang" cukup untuk mengirimkan uang kepada keluarga.

Melihat kondisi ibunya yang sakit, ia tak berani  mengatakan kepada ibunya tentang niatnya bekerja di luar pulau.    Hanya sebuah ucapan selamat tinggal di secarik kertas kepada Ibu, "aku merantau". Jika aku sudah berhasil, aku akan mengirimkan uang hasil kerjaku.

*****

Apa yang dia impikan tak semudah yang dia cita-citakan.  Tak ada modal ijazah atau keahlian yang dia bisa serahkan.   Agen perekrut  memberikan kepadanya  pekerjaan sebagai "waiter" di sebuah klub malam.

Dalam  kegelapan malam,   hanya remang-remang dan kilatan lampu  "spotlight",  bisingnya musik yang dihentak-hentak,  Rena harus menemani tamu-tamu asing itu. 

Kehidupan malam itu yang tak pernah dipikirkan telah jadi miliknya.    Harapannya hanya satu.    Suatu hari hasil kerjanya akan  dia berikan kepada ibunya untuk menggantikan alat tenun manual dengan alat  modern.

Berkali-kali dia jatuh dalam keinginan cepat mendapakan uang supaya dia cepat pulang ke kampungnya menemui ibunya.

*****

Suara kumandang adzan subuh dari masjid terdengar .   Jelang setahun dia sudah tinggalkan kampung itu.   Kesedihan pun timbul lagi.  Kali ini bukan keputusan untuk pulang yang menyedihkannya. Tapi kesedihan bahwa dia tak bisa jadi orang kampung yang berhasil. 

Luka-luka hatinya yang dalam itu makin tak terobati.  Kenapa dia tak bisa mengangkat kehidupan keluarga di kampung?

Janji kepada ibunya tak bisa ia tepati.   Terbayang wajah semua adik-adik yang ditinggalkannya.  Apakah mereka akan  memiliki nasib seperti dirinya?

Mendung kelam, makin suram.  Hujan pun terus tercurahkan bak air terjun tak berhenti-hentinya.  Hujan menemani kepedihan hidupnya. Tak bisa melanjutkan hidup tanpa harapan yang muncul ditengah penderitaannya.

Satu-satunya yang menghibur hatinya hanya sarung yang diambil dari hasil tenunan ibunya.  Memandang sarung tenun itu kerinduannya terobati, kehadiran sosok ibunya jadi bayang harapannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun