Mohon tunggu...
Ina Tanaya
Ina Tanaya Mohon Tunggu... Penulis - Ex Banker

Blogger, Lifestyle Blogger https://www.inatanaya.com/

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Kehilangan Sahabat, Momen Tersulit Saat Ramadan

5 Mei 2020   12:31 Diperbarui: 5 Mei 2020   12:40 313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sore itu saya tak menyangka bahwa ada  berita buruk . Ketika membaca di suatu grup Whatsapplication, seorang teman mengatakan bahwa  Pendeta A telah meninggal dunia.

Bagaikan halilintar di siang hari bolong, saya bertanya kepada penyampai berita bahwa saya tidak  mempercayai berita itu.

Lalu dia menyampaikan surat resmi dari Dewan Majelis, Gereja tempat dia bekerja.

Barulah hati saya percaya, tak lama airmata saya mengalir tak terbendun, deras sekali.  Beruntung saya menangis di dalam kamar sendirian.

Ingatan saya kembali kepada peristiwa setahun lalu ketika kami sedang seminar "Kesehatan Mental" dimana kami berbicang sangat dalam tentang makna hidup sekarang dan akan datang.  Seolah bahan seminar pun jadi perbincangan kami yang tak henti-hentinya.

Setelah peristiwa itu kami tak pernah bertemu lagi karena beliau bekerja aktif sebagai pendeta dan saya sebagai jemat di luar gerejanya.

Aneh kami sempat berfoto bersama almarhumah dan janji akan bertemu lagi.

Namun, pertemuan itu tak pernah terjadi hingga kini.   Ketika berita duka itu datang, saya sebenarnya ingin menyampaikan duka dengan menghadiri  Kebaktian Penghiburan sebagai penghormatan terakhir. Ternyata dibatasi hanya orang tertentu dan pemakaman pun tidak boleh dihadiri siapa pun karena jenazah pasien Covid harus sesuai dengan protokol

Mendoakan dirinya hampir tiap hari. Saat berdoa terbayanglah  foto keluarga yang ditinggalkannya,  dua orang anak , seorang anak perempuan berusia 9 tahun dan seorang anak lelaki berusia 7 tahun dan suaminya yang masih dirawat rumah sakit karena Covid-19.

Awalnya, suaminya itu yang menderita positif Covid-19. Lalu, istrinya tentu sering mendampingi suami di rumah sakit.   Tidak berapa lama, istrinya pun tertular positif Covid-19.   Dia dilarikan ke rumah sakit rujukan di bilangan Jakarta Selatan.

Kondisi badannya terus menurun drastis.  Walaupun dia masih sempat minta didoakan kepada  Jemaat dan orang  terdekatnya, dia sudah menyelesaikan perjuangan melawan penyakit Covid-19.    Saya meyakini bahwa dia telah berjuang mati-matian.  Tapi Tuhan Penciptanya, telah memanggilnya untuk pulang ke RumahNya.

Selama seminggu setelah meninggalnya almarhumah, saya dikagetkan kembali oleh WA yang masuk . Berita tolong doakan suami almarhumah yang masuk ke rumah sakit lagi.

Kali ini saya merasakan getaran kesedihan yang luar biasa, saya membayangkan jika suaminya itu benar tidak kuat jiwanya karena kehilangan istrinya.   Tetapi kenapa fisiknya terus menerus  menurun drastis. Bayangan buruk menerpa saya.  Jika terjadi apa-apa dengan suaminya, bagaimana dua anak yang masih kecil itu akan kehilangan ayah dan ibunya.

Saya pun secepatnya bertindak menelpon keponakan almarhum yang tinggal bersama dua anaknya. Menanyakan bagaimana kondisi Bapak B, suami almarhumah sahabat saya.

Dia menceriterakan sangat detail.   Bapak B  masih tertekan terus menerus kehilangan istri dan akibatnya  kesehatannya terganggu.  Setelah dia selesai isolasi mandiri , dia merasakan adanya gangguan jantung dan pencernaan.  

Pada suatu malam jam 01.00 bapak B ini tidak tahan menahan sakit perut dan jantungnya.  Dia minta dipanggilakan ambulan ke rumah sakit.

Ketika di rumah sakit, tentunya hanya diperiksa oleh dokter UGD yang menyatakan bahwa segera akan memeriksa jantung dan perutnya.  

Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa detak dan irama jantungnya normal dan ada sesuatu yang ada diginjalnya.   Untuk jantung dia harus memeriksakan diri ke dokter jantung yang praktek besoknya.  Sementara itu ketika dia dinyatakn tidak apa-apa jantungnya dan ginjalnya, dia diperbolehkan pulang.

Ternyata hanya beberapa hari pulang, nyeri di perut itu timbul kembali.  Kembali dia dilarikan ke rumah sakit.  Ternyata setelah diperiksa dengan teliti, ada batu ginjal yang harus dioperasi.

Operasi pun dilaksanakan.   Saya sendiri bantu monitor kondisi kesehatan Bapak B. 

Mendoakan setiap hari agar kesehatan dan kepulihan bapak B karena kedua anaknya menanti dirinya dalam kerinduan.   Juga saya merasakan syukur hasil swab kedua anaknya dinyatakan negatif.

Itulah sekelumit cerita sedih yang saya bisa sharingkan di masa Ramadan ini.  Kehilangan orang yang dicintai.  Melihat dengan sedih kepergiannya yang tak pernah diantar oleh siapa pun bahkan oleh suami yang tengah di rawat di rumah sakit.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun