Mohon tunggu...
Ina Tanaya
Ina Tanaya Mohon Tunggu... Penulis - Ex Banker

Blogger, Lifestyle Blogger https://www.inatanaya.com/

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Kenapa Anggaran Normalisasi Sungai di DKI Jauh Lebih Kecil Ketimbang Anggaran Trotoar

1 Januari 2020   16:46 Diperbarui: 1 Januari 2020   19:23 596
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Banjir datang tidak datang dengan tiba-tiba. Sebenarnya, curah hujan yang dikatakan ekstrim oleh Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan itu tidak pernah jadi banjir karena hujan sekarang ini belum mencapai puncaknya. Puncak hujan akan terjadi bulan Februari -- Maret 2020 apalagi mendekati Hari Imlek akan hujan ekstrim baru terjadi.

Seharusnya warga JABODEBATEK yang menyambut Tahun Baru 2020 di penghujung tahun 2019 itu disambut dengan gembira dan meriah. Namun, justru hadiah yang diberikan pada warga JABODEBATEK di subuh Tahun Baru 2020 adalah banjir.

Banjir yang dikatakan dari hujan ekstrimis itu seharusnya tidak akan terjadi selain belum puncak hujan juga apabila air hujan dapat mengalir dengan sangat baik apabila sungai-sungai di Jakarta, Depok dan Tangerang itu cukup besar menampung air hujan yang deras.

Penampungan air di sungai itu harus dilihat dari lebarnya sungai yang mampu menampungnya. Normalnya lebar sungai yang bisa menampung adalah 20 meter. Namun kenyataannya di Jakarta mulai dari barat ke timur dilalui oleh 13 sungai yaitu, Kali Angke, Kali Baru Barat, Kali Baru TImur, Kali Buaran, Kali Cakung, Kali Ciliwung, Kali CIpinang, Kali Grogol, Kali Jati Kramat, Kali Krukut, Kali Mookerkvkaart, Kali Pesanggrahan, Kali Skretaris, Kali Sunter.

Sebenarnya dengan adanya 13 sungai itu akan menguntungkan Jakarta sebagai daerah resapan, penahan intrusi air laut sekaligus sebagai darinase. Dengan adanya resapan air itu maka akan terjaga dari banjir. 

Sayang, apa yang terjadi adalah adanya pemukiman yang dibiarkan tumbuh di sekitar bantaran selama bertahun-tahun. Pemukiman di bantaran itu meluas dan sungai kalah. Sungai yang seharusnya memiliki 50 meter lebarnya, sekarang tinggal 7 meter saja.  

Contohnya di Kali Cipinang di kawasan Makasar, Jakarta TImur, dipadati hunian semi permanen dan cenderung kumuh. Ketika hujan turun, sungai itu tidak lagi berfungsi sebagai resapan, tetapi langsung membludak  ke samping bantaran yang merupakan hunian warga.  

Apalagi sudah dua tahun ini, sejak DKI dibawah ANies Baswedan menghentikan normalisasi dan naturalisasi sungai.   Untuk anggaran 2020, normalisasi sungai hanya 600 milyar dan hamper dipakai 250 milyar sudah dipakai di tahun 2019 sisanya tinggal sekitar 350 milyar untuk tahun 2020.

Bandingkan dengan perbaikan trotoar di DKI Jakarta yang dianggarkan sebesar Rp.1,4 milyar, apakah prioritas trotoar di DKI jauh lebih penting ketimbang banjir yang melanda hampir di seluruh Jakarta.

Banjir bukan disebabkan oleh sempitnya sungai, juga oleh karena jeleknya kualitas drainase di Jakarta. Tidak ada kesinambungan antar satu drainase dengan drainase yang lainnya. Bahkan, isi drainase di daerah Senayan itu penuh dengan kabel-kabel  atau sampah. 

Anggaran untuk normalisasi sungai dan drainase tidak cukup untuk persiapan antisipasi banjir. Momen banjir ini menjadi titik tolak bagi Pemerintah DKI untuk menata ulang tempat-tempat atau hunian yang terkena banjir.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun