Prof Shigeki matsuda mengatakan fenomena ini disebut dengan "Hipergemi" artinya Perempuan Jepang ingin mencari calon suami dengan syarat pekerjaan mapan, tingkat pendidikan yang lebih tinggi dari dirinya sendiri. Â Â
Seperti diketahui bukan hanya perempuan Jepang yang banyak yang lajang, tetapi lelaki Jepang juga banyak yang lajang. Â Mengapa demikian? Â Pada saat Jepang baru membangun negaranya, tuntutan perusahaan terhadap pekerjanya terutama lelaki untuk bekerja sampai tuntas dan malam itu jadi hal yang utama. Â Ketika keadaan telah membaik, Jepang sudah modern, rupanya tuntutan itu telah membudaya bagi kaum lelaki Jepang.
Konstruksi Sosiokultural menempatkan perempuan dalam tataran mahluk yang kedua setelah lelaki, pengembangan teknologi dan finansial membuat mereka mementingkan pembangunan keuangan yang mapan ketimbang membangun keluarga.
Bukan hanya Jepang yang mengalami penurunan pernikahan, Â hal yang sama juga terjadi di China. Â Angka pernikahan di China 5 tahun terkahir yaitu tahun 2018, 7,2 dari 1.000 orang muda mau menikah.
Seorang sosiolog, Sandy To mengatakan bahwa perbedaan atau diskriminasi gender baik dalam pekerjaan dan keluarga membuat mereka memutuskan tidak menikah.
Yang menyedihkan ada seorang perempuan China, sampai memutuskan untuk tidak menikah tetapi ingin memiliki anak dengan mengandung dengan membeli sperma dari Bank Sperma di negera Amerika yang biayanya jauh lebih kecil dibandingkan dengan membelinya di China sendiri.
Ketika struktur anak muda di tahun mendatang ini akan berkurang drastis di negara China, Korea dan Jepang, padahal mereka ini negara  terkuat dalam ekonominya di Asia,  mau tidak mau Pemerintahnya harus segera mengambil kebijakan yang komprehensif menangani masalah sosial yang terjadi di dalam negerinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H