Mohon tunggu...
Ina Tanaya
Ina Tanaya Mohon Tunggu... Penulis - Ex Banker

Blogger, Lifestyle Blogger https://www.inatanaya.com/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengentaskan Akar Masalah Kerasnya Kehidupan Anak Jalanan

29 November 2019   17:44 Diperbarui: 29 November 2019   20:08 423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat ini  kita tidak  banyak menemui anak-anak jalanan di bus yang bekerja mengamen, maupun diperempatan jalan lampu lintas yang menjajakan koran-koran.

Kesempatan mereka untuk bekerja di jalanan makin sempit. Namun, jika kita berjalan di sepanjang jalan Stasiun Senen,  anak-anak dengan muka kecoklatan dibawah terik matahari, mengamen dari satu lapak ke lapak di antara jalan sempit di depan Stasiun Senen masih berkeliaran.  Tanpa mengindahkan panasnya terik, dan suara yang hampir tidak bernada itu, mereka mengamen untuk mendapatkan uang. 

Mengamen, mengumpulkan barang-barang bekas, membantu orangtua jualan, adalah tugas anak jalanan. Di kota-kota besar seperti di Bandung, ditemukan anak jalanan di sekitar Soekarno-Hatta, Jalan Djunjunan, Jalan Achmad Yani, Jalan Garuda.

NH, seorang anak usia 9 tahun sepulang sekolah harus membantu ibunya berjualan tisue dan tablet vitamin. Selama hampir 8 jam NH harus berjualan, tidak boleh bermain.  Anak yang seharusnya masih butuh bermain tetapi harus dipaksa kerja oleh ibunya.

Lain halnya dengan PN usia 15 tahun, tiap hari harus berusaha untuk mencuci puluhan angkot  dengan sapu dan lap seadanya.   Dia mendapatkan uang sebagai imbalan atas mencuci angkot sekitar Rp.15.000 hingga Rp.30.000 per harinya. 

Uang itu diserahkan kepada orangtuanya untuk biaya hidup sehari-hari. Orangtuanya sama sekali tidak bekerja, mengandalkan dan mengexploitasi anaknya. Bahkan PN sering bolos sekolah karena kecapean dan tidak mampu lagi ke sekolah karena harus menyelesaikan mencuci dan membersihkan angkot.

Menyedihkan sekali dengan nasib seorang anak usia 6 tahun yang tidak pernah mengenal ayah dan ibunya. Dia diserahkan kepada bibinya. Ketika suatu kali ibunya menemui dirinya, ternyata ibunya meninggalkannya di tengah jalan tanpa suatu "sangu" uang atau pakaian.   Terpaksa dia mengamen untuk mendapatkan uang dan tidur di jalanan. 

Beruntung ada orang yang mengenalnya, lalu diserahkan kepada bibinya.  Tidak berapa lama, bibinya menyerahkan kepada ayahnya. Ayahnya tak punya pekerjaan, membawanya ke Jakarta untuk mengamen, meminta-minta uang dari lapak ke lapak di sekitar stasiun Senen, Manggarai.

Tempat tidurnya di taman seberang stasiun.  Anak ini pernah mengalami kekerasan seksual oleh seorang yang tua.  Sebenarnya, ayahnya mengetahuinya.  Sayangnya, ayah yang seharusnya peduli, tidak berani melindungi putrinya, pura-pura tidak mengetahui.   Ayah takut jika dia dihajar oleh orang yang merasa "berkuasa" itu.

Sementara itu ada anak-anak yang berusia 15-18 tahun melampiaskan kekerasan hidup ini dengan cara menyabu, mengelem, narkorba. Mereka hidup sebagai penyalur, pemakai . Dengan uang yang pas-pasan mereka berani membeli. Bagaikan hidup dalam sekam, mereka harus lari ketika dikejar, dan banyak yang tak tahan untuk terus hidup dalam pengejaran, caranya dengan menerbangkan dirinya dari atas jembatan. Meninggal.

Kerasnya hidup itu dialami oleh anak-anak jalanan yang hidupnya hampir 8-12 jam di jalanan.  Akar masalahnya adalah orang tua yang datang dari desa ke kota besar tanpa "skill" , tidak mendapatkan pekerjaan  dan tidak bisa bekerja.  Akhirnya, mereka jadi pengemis, pemulung .

Kebutuhan dasar dari seorang dewasa seperti sandang, pangan dan sejahtera tidak ada.   Apalagi,  anaknya tidak punya pilihan hidup sebagai sesorang anak .   Kebutuhan hidup dasar anak pun tidak dapat dimilikinya, pendidikan dan kesehatan.

Beberapa orang yang tersentuh hatinya dan terpanggil jiwanya untuk mendirikan Sekolah Jalanan yang disebut dengan "Bingkai Jalanan".  Pendiri Bingkai Jalanan Hestiana Kifta dibantu dengan empat orang "volunteer" .  Status mereka adalah pekerja dan mahasiswa.

Di bingkai Jalanan, yang terletak di sebelah balik tembok stasiun senen, di jalan yang berukuran 1 meter itu, ada sebuah kontrakan kecil.   Mereka menyewa kontrakan itu sebesar Rp.700 ribu per bulan.  Biaya itu ditanggung oleh para relawan, ditambah dengan biaya operasional. Sudah mengajar, tapi juga harus mengeluarkan biaya sendiri.

Setiap hari Kamis dan Minggu, anak-anak dari pelbagai usia mulai umur 5 tahun hingga 15 tahun dengan total 33 anak, berkumpul untuk belajar bersama-sama.  Dengan alas tikar, anak-anak belajar tanpa meja dan kursi.  Bukan pelajaran formal yang diajarkan, tetapi  menggambar, menulis, dan pelajaran kehidupan sehari-hari seperti apa itu makanan sehat, bagaimana cara makan sehat.  Mengenal berbagai alat transportasi, bagaimana cara menggunakannya.

Sulit sekali untuk mengumpulkan anak-anak ini karena anak-anak itu harus minta izin kepada orangtuanya. Kadang-kadang orangtua tidak mendukung karena seolah anak ini seharusnya bekerja bukan sekolah. Justru orangtua yang menghalangi anak untuk sekolah. Ketika anak melawan orangtua, maka pukulan dan hantaman diterima oleh anak-anak. Terlihat bekas pukulan yang membiru di muka anak itu.

Relawan harus memastikan anak-anak ini tidak merasa tertekan ketika anak-anak ini berada di Bingkai Jalanan.  Beberapa anak datang ke Bingkai Jalanan untuk mendapatkan pengetahuan yang lebih dalam atau bertanya kepada relawan tentang soal-soal dari sekolah formal yang belum dikuasainya.

Anak jalanan yang sudah bersekolah di formal, tidak mampu untuk ambil les  atau bimbingan belajar karena tidak ada biaya.   Sebagian besar dari anak yang sekolah formal pun tidak dapat melanjutkan setelah lulus SD atau SMP dan mereka putus sekolah lagi ditengah jalan karena kekurangan biaya.

Pemerintah dalam hal ini Dinas Pemberdayaan, Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk DKI melihat kasus kekerasan anak jalanan dari tahun lalu sudah berkurang, selama bulan Januari hingga September 2019 ada 224 kasus , lebih kecil dibandingkan tahun lalu (585 kasus).

Namun, penanganan dari Dinas Pemberdayaan ,Perlindungan Anak ini sebenarnya kurang efektif karena mereka mengejar anak-anak jalanan untuk dikirimkan  ke Yayasan Yatim Piatu atau Rumah Singgah.

Pelayanan di Yatim Piatu dan Rumah Singgah bukanlah tempat yang penuh dengan cinta kasih, mereka hanya sekedar dididik untuk seadanya dan terkesan bahwa anak-anak ini mulai tidak "kerasan". Ketika anak ini tidak "kerasan" tinggal di rumah singgah, mereka akan melarikan diri, kembali menjadi anak jalanan yang dipenuhi dengan kekerasan.

Lalu, kapan pengentasan kekerasan ini dapat segera dilakukan,  dibutuhkan orang-orang yang berhati mulia untuk benar-benar memberikan pendidikan penuh kepada anak jalanan dengan cara  memberikan bea siswa dan berikan kesehatan agar mereka tidak berada di jalanan yang merupakan rumah pertamanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun