Kebutuhan dasar dari seorang dewasa seperti sandang, pangan dan sejahtera tidak ada. Â Apalagi, Â anaknya tidak punya pilihan hidup sebagai sesorang anak . Â Kebutuhan hidup dasar anak pun tidak dapat dimilikinya, pendidikan dan kesehatan.
Beberapa orang yang tersentuh hatinya dan terpanggil jiwanya untuk mendirikan Sekolah Jalanan yang disebut dengan "Bingkai Jalanan". Â Pendiri Bingkai Jalanan Hestiana Kifta dibantu dengan empat orang "volunteer" . Â Status mereka adalah pekerja dan mahasiswa.
Di bingkai Jalanan, yang terletak di sebelah balik tembok stasiun senen, di jalan yang berukuran 1 meter itu, ada sebuah kontrakan kecil. Â Mereka menyewa kontrakan itu sebesar Rp.700 ribu per bulan. Â Biaya itu ditanggung oleh para relawan, ditambah dengan biaya operasional. Sudah mengajar, tapi juga harus mengeluarkan biaya sendiri.
Setiap hari Kamis dan Minggu, anak-anak dari pelbagai usia mulai umur 5 tahun hingga 15 tahun dengan total 33 anak, berkumpul untuk belajar bersama-sama.  Dengan alas tikar, anak-anak belajar tanpa meja dan kursi.  Bukan pelajaran formal yang diajarkan, tetapi  menggambar, menulis, dan pelajaran kehidupan sehari-hari seperti apa itu makanan sehat, bagaimana cara makan sehat.  Mengenal berbagai alat transportasi, bagaimana cara menggunakannya.
Sulit sekali untuk mengumpulkan anak-anak ini karena anak-anak itu harus minta izin kepada orangtuanya. Kadang-kadang orangtua tidak mendukung karena seolah anak ini seharusnya bekerja bukan sekolah. Justru orangtua yang menghalangi anak untuk sekolah. Ketika anak melawan orangtua, maka pukulan dan hantaman diterima oleh anak-anak. Terlihat bekas pukulan yang membiru di muka anak itu.
Relawan harus memastikan anak-anak ini tidak merasa tertekan ketika anak-anak ini berada di Bingkai Jalanan. Â Beberapa anak datang ke Bingkai Jalanan untuk mendapatkan pengetahuan yang lebih dalam atau bertanya kepada relawan tentang soal-soal dari sekolah formal yang belum dikuasainya.
Anak jalanan yang sudah bersekolah di formal, tidak mampu untuk ambil les  atau bimbingan belajar karena tidak ada biaya.  Sebagian besar dari anak yang sekolah formal pun tidak dapat melanjutkan setelah lulus SD atau SMP dan mereka putus sekolah lagi ditengah jalan karena kekurangan biaya.
Pemerintah dalam hal ini Dinas Pemberdayaan, Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk DKI melihat kasus kekerasan anak jalanan dari tahun lalu sudah berkurang, selama bulan Januari hingga September 2019 ada 224 kasus , lebih kecil dibandingkan tahun lalu (585 kasus).
Namun, penanganan dari Dinas Pemberdayaan ,Perlindungan Anak ini sebenarnya kurang efektif karena mereka mengejar anak-anak jalanan untuk dikirimkan  ke Yayasan Yatim Piatu atau Rumah Singgah.
Pelayanan di Yatim Piatu dan Rumah Singgah bukanlah tempat yang penuh dengan cinta kasih, mereka hanya sekedar dididik untuk seadanya dan terkesan bahwa anak-anak ini mulai tidak "kerasan". Ketika anak ini tidak "kerasan" tinggal di rumah singgah, mereka akan melarikan diri, kembali menjadi anak jalanan yang dipenuhi dengan kekerasan.
Lalu, kapan pengentasan kekerasan ini dapat segera dilakukan, dibutuhkan orang-orang yang berhati mulia untuk benar-benar memberikan pendidikan penuh kepada anak jalanan dengan cara memberikan bea siswa dan berikan kesehatan agar mereka tidak berada di jalanan yang merupakan rumah pertamanya.