Mohon tunggu...
Ina Tanaya
Ina Tanaya Mohon Tunggu... Penulis - Ex Banker

Blogger, Lifestyle Blogger https://www.inatanaya.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kehidupan Anak Tanpa Ayah (Meninggal) Menjadi Seorang "Leader"

15 November 2019   19:43 Diperbarui: 15 November 2019   19:45 395
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Alangkah bahagianya seorang anak yang memiiki ayah dan ibu yang lengkap dan hidup dalam keluarga yang harmonis dan lengkap.  Lengkap artinya anak punya ayah dan ibu.  Namun, tidak semua anak punya kebahagiaan yang sama dengan anggota ayah dan ibu yang lengkap.

Beberapa anak di semua negara  termasuk  Amerika menunjukkan bahwa mereka itu terpaksa hidup tanpa ayah. Ayah yang biasa hidup ditengah keluarga mereka, tiba-tiba  menderita sakit parah dan dalam waktu yang sangat singkat  Tuhan memanggilnya dalam usia yang sangat muda. Katakan beberapa orang terkemuka seperti Nelson Mandlea, Mahatma Gandhi, Indira Gandhi , mereka ini juga hidup tanpa ayah semasa kecilnya.  Ayah mereka meninggal dunia  .

Sebuah penderitaan bukan bagi istri ketika suaminya meninggal dengan anak-anak yang masih kecil, bahkan ada yang masih bayi.   Istri merasakan hilangnya belahan jiwanya yang harus menghadap Tuhan dengan cara yang tidak diharapkannya.   

Kehilangan itu juga sangat dirasakan oleh anak-anaknya.   Begitu ayah meninggal, mereka merasa sedih sekali,  hampa, bahkan mencari terus figur ayah yang hampir tak bisa tergantikan oleh siapa pun.

Salah seorang dari anak yang kehilangan ayahnya saat dia masih kecil adalah Sir Albert Aynsley Green, Profesor Emeritus of Child Heath.  Usianya baru 8 tahun, ketika ayahnya harus dioperasi pada suatu rumah sakit.  Malam itu dia dipanggil untuk ikut ke rumah sakit bersama bibinya.  Kondisi ayahnya yang kritis, menunggu detik-detik akhir ayahnya.  

Dalam suasana duka yang mendalam, bibinya mengatakan dengan suara berat, "Brad (nama panggilan), kamu sekarang akan menggantikan ayahmu.   Jagalah ibumu karena dia juga jadi tanggung jawabmu".  

Sosok laki-laki yang disebut sebagai pemimpin keluarga itu memang pergi, tetapi semangatnya akan terus ada pada diri yang tegar untuk mencintai kehidupan yang berjalan tanpa figur ayah.

Bagi Brad kecil suara itu sungguh mengejutkan dan hatinya menjerit untuk panggilan peran ayah yang jadi beban . 

Namun, dia bertekad dengan keras, dan berjanji dalam hati bahwa nanti jika saya besar yang akan menjadi dokter sehingga tidak ada lagi anak-anak baik perempuan atau lelaki yang kehilangan ayahnya karena penyakit yang tidak dapat disembuhkan.

Bertahun-tahun setelah perjuangan hidup Brad bersama ibunya sebagai single parenting.  Brad masih teringat dengan tekad untuk belajar di perguruan tinggi untuk jadi dokter.  Dia mewujudkannya dengan menyelesaikan studinya sebagai dokter, sampai  Professor.

Bukan hanya  Brad sendiri yang merasakan kehilangan ayah itu membuat motivasi tinggi untuk jadi orang besar dalam hidupnya.

Ternyata ada Brad lain seperti Abraham Lincoln, Frankin Roosevelt juga  mengalami hal yang sama.  Ketiga tokoh ini kehilangan ayahnya saat mereka masih di usia dini. Tapi mereka punya motivasi kuat untuk menjadi "leader" di dunia .

Seorang cendekiawan  dalam psikologi berpendapat tidak ada teori atau riset yang membuktikan bahwa kehilangan ayah itu akan membuat anak itu berjuang dengan motivasi kuat dan memiliki "leadership" di masa mendatang.

Penelitian hanya menunjukkan bahwa anak-anak yang kehilangan ayahnya itu jika sang ibu atau keluarga dekat memberikan penguatan dan mendukung agar anak menemukan passion, dan mendorongnya agar dia harus menjadi "kebanggaan" dari ibunya yang hidup sendiran, maka anak itu pasti akan berjuang menggapai apa yang diimpikan oleh ibunya.

Satu hal yang memang saya temukan dari satu contoh kehidupan ketika ada satu keluarga dengan enam orang anak, ibunya seorang ibu rumah tangga biasa, ketika tiba-tiba tulang punggung keluarga yaitu ayahnya harus berpulang atau meninggal dunia.  

Si sulung itu telah mendapat pesan dari ayahnya sebelum meninggal untuk bisa mendampingi ibunya dan membantu membesarkan adik-adiknya.  

Si sulung ingat pesan ayahnya itu. Dia berjuang sampai selesai kuliah dan mendapat gelar dokter.  Dokter yang cukup berhasil . Dia bisa membantu menyekolahkan lima orang adik-adiknya . Setelah adik semua selesai, barulah dia akan menikah karena merasa tanggung jawab dia sudah habis.

Tentu dibalik semua itu tidak semua anak yang ditinggalkan ayahnya punya motivasi kuat untuk jadi "leader".  Ada beberapa anak justru yang terjerumus dalam kenakalan dan hal-hal yang tidak baik seperti kejahatan, narkoba, mabuk dan lain-lainnya.   Mereka seolah kehilangan figur ayah yang tidak ditemukan ditangan ibunya. 

Oleh karena itu peran ganda ibu sebagai ayah dan ibu menjadi penting sekali agar masa depan anak untuk jadi "Leader" bagi hidupnya dan bagi masyarakat dapat diwujudkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun