Jakob dikenal sebagai orang yang sulit tidur apabila ada masalah tentang penghinaan harkat manusia. Yang dikaguminya adalah ungkapan klasik dari seorang warnatan bernama Peter Dunne, warga Amerika keturunan Irlandia.
Peter Dunne menulis di Chicago Evening Post, judul tulisannya "Comforts the afficted, Afflicts the comfortable". Jika diterjemahkan dengan bebas "menghibur yang papa, mengingatkan yang mapan".
Pergesesaran nilai pembaca yang menyukai sensasi menjadi suatu tantangan bagi Jakob yang punya idealisme tinggi dalam tetap menjujung kebenaran fakta yang disajikan.
Satu pihak dia akan kehilangan pelanggan apabila dia tidak mengubah konten berita dengan apa yang disukai oleh pembaca. Namun, pihak lain, dia punya nilai etik yang tetap ingin dipertahankan.
Pilihan sulit bagi Jakob memang jadi tantangan tersendiri. Ketika akhirnya Jakob mampu mengendalikan emosi dengan bingkai dan maknya baru dalam keluhuran dan kekerdilan manusia, yang selalu gelisah dalam pencarian keadilan dan gelisah dan tidak puas dalam mencari  pengembangan yang dikaitkan dengan kebajikan yang harus dimiliki oleh seorang wartawan.
Ungkapan "humanisme transendetal" berasal dari PK Ojong dalam manuskrip yang ditulis 1974 menjadi bingkai syarat pokok seorang wartawan. Jakob memperkayanya dengan maka kerja dan pengabdian untuk jadi kemanusian yang beriman.
Kemajemukan dari bangsa Indonesia membuat Jakob dan PK Ojong mewarnai Kompas dengan konten jurnalistik yang sangat bernuansa dengan hati nurani dalam dan otak cemerlang. Menanggapi setiap kemajemukan dengan berbagai tanggapan yang ditulis dengan bahasa yang sangat cerdas.
Ketika  ingin mengkritik pemerintah dalam pembangunan, maka narasi yang dibawakannya bukan sekedar kritik pedas tanpa makna, tetapi sebaliknya gaya bahasa dan caranya sangat intelektual.
Bukan hitam dan putih, tetapi penuh dengan naluri keluruhan martabat manusia, piawai dalam penyampaian pesan dan kritik lewat tajuk-tajuk yang tajam  dan menyadari bahwa Indonesia itu begitu mahabesar dan apa yang dilakukan Kompas adalah hanya sebagian kecil saja.
Landasan buku-buku babon yang dipelajarinya itu menjadi obsesi bahwa hidup itu penuh dengan keanekaragaman budaya, oleh karena jurnalisme harus dipraktikkan dengan memberi warna atas semua peristiwa yang terjadi. Bukan semata peristiwanya, tetapi apa makna di balik peristiwa itu.
Di akhir era produktifnya sepeninggal Ojong pada tahun 1980, selain jadi pucuk pimpinan Kompas Gramedia, Jakob sering mengundang para pakar dari luar untuk berdiskusi dengan Kompas.