Ada anekdot yang sudah sering terdengar bahwa ganti menteri ganti sistem pendidikan. Apakah jelang akhir jabatan pada bulan Oktober yang akan datang ada suatu kejutan di dunia pendidikan Indonesia. Bukan hal yang mengagetkan jika tiba-tiba Bapak Muhadjir Effendy, Menteri Pendidikan dan Kebuyaan, ingin mengimplementasikan kebijakan rotasi guru.Â
Menurut beliau, Rotasi guru itu menjadi bagian elemen yang sangat penting dalam rangka untuk mendongkrak dan meningkatkan prestasi sistem pendidikan Indonesia yang saat ini cukup memprihatinkan.
Menurut laporan PISA 2015, program yang mengurutkan kualitas sistem pendidikan di 72 negara, Indonesia menduduki peringkat 62. Dua tahun sebelumnya (PISA 2013), Indonesia menduduki peringkat kedua dari bawah atau peringkat 71.
Padahal, Indonesia yang sudah mengalokasikan 20% dari APBN untuk pendidikan ternyata dana yang cukup besar itu pun tidak mampu untuk merubah kondisi sistem pendidikan yang masih dianggap rendah. Pengalokasian dana ini untuk memberikan fasilitas sekolah, program, dan segala hal yang macam, tetapi belum pernah menyentuh rotasi guru.
Demikian pula terdapat kesetaraan dalam setiap jenjang pendidikan. Guru yang punya kualifikasi tingkat master itu bukan hanya hebat di tingkat teori saja, tapi mereka itu harus melakukan observasi terhadap anak didiknya, mencari keunggulan dan kelemahannya dan memberikan pertumbuhan dan pengembangan dengan keterampilan dan pengetahuan yang sesuai dengan porsi kemampuan anak itu.
Jadi guru di sana itu mengajar 5-8 orang saja, mereka itu memiliki tanggung jawab besar agar nantinya masing-masing anak itu bisa mencapai kurikulum tapi dengan cara dan metode yang sesuai dengan kemampuannya. Apalagi evaluasi belajar bukan untuk menjadikan standarnisasi setiap sekolah. Tapi untuk melihat sejauh mana pencapaian kurikulum dan kualifikasi persyaratan inti.
Nah, ternyata di Indonesia itu ada berbagai macam jenis sekolah, sekolah favorit, non-favorit, sekolah negeri, sekolah swasa di mana masing-masing standarnya tidak sama. Semua orangtua menginginkan anaknya lari ke sekolah favorit karena di situ ada guru yang mengajar dengan baik sehingga diharapkan anaknya nantinya lulus dengan kualitas tinggi untuk naik ke jenjang berikutnya.
Perbedaan kualitas guru di sekolah favorit dan tidak favorit, apalagi guru di daerah terpencil jadi kesulitannya untuk distribusi rotasi guru. Entah apakakah Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan sudah punya "map" distribusi dari guru-guru di tiap daerah, mana guru yang cukup di daerah itu, mana yang tidak cukup. Apabila ada map yang jelas maka cara pendistribusian pun lebih mudah.
Memang rencana untuk rotasi guru itu dilakukan antar-zonasi bukan antar-kabupaten atau provinsi atau ke daerah terpencil. Walaupun ada sumpah dari guru untuk mau ditempatkan di mana saja ketika mereka diterima sebagai PNS, tetapi ada kendala yang cukup berat untuk bisa menempatkan guru di tempat terpencil. Program rotasi itu direncanakan hanya berlaku setahun.