Baru saja dua hari yang lalu kita merayakan Idul Fitri . Idul Fitri yang bermakna kembali kepada fitrahnya. Â Bermakna juga untuk bersilahturahmi untuk bermaaf-maafan atas kesalahan baik sengaja atau tidak sengaja. Selayaknya manusia pasti pernah melakukan kesalahan yang memang direncanakan maupun tidak.
Ada baiknya memaafkan itu benar-benar setulus hati dan rendah hati supaya perbuatan yang tidak baik atau tidak berkenan itu tidak diulangi lagi.
Sayang seribu sayang ternyata Idul Fitri yang punya makna indah itu harus dirusak dengan adanya dua peristiwa yang tidak diinginkan.
Peristiwa pertama terjadi di Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Â Persis pada hari pertama Lebaran Idul Fitri, tawuran antar remaja atau bocah terjadi. Â Saling ejek mengejek antar anak yang beasal dari Desa Sepa Batu dan Kelurahan Tinambung di atas Jembatan Tinambung, Kabupaten Polewali Mandar.
Bukan hanya saling mengejek saja, mereka saling memukul dan salah satu kelompok menggunakan senjata mainan berbahaya. Â Akibatnya ada beberapa anak yang terluka terkena peluru padat dari senjata mainan yang membahayakan. Â Salah seorang anak bernama R berusia 9 tahun terluka memar pada pipinya karena terkena peluru senjata yang ditembakkan dekat sekali.
Peristiwa kedua yang terjadi di Buton, Sulawesi Tenggara. Pada malam hari Selasa tanggal 4 Malam, yang merupakan malam Takbir, Â sekelompok masa yang terdiri dari 40 pemuda dari Desa Sampuabalo melakukan konvoi dengan menggunakan knalpot racing dan memainkan gas motornya sehingga bunyi keras yang memekak telinga . Hal itu membuat warga Desa Gunung Jaya terganggu dan tidak menerima.
Terjadilah adu mulut antara kelompok Desa Sampuabalo dengan kelompok Desa Gunung Jaya. Sayangnya, ada provokasi dari beberapa orang yang berasal dari Desa Sampuablao itu dengan melempar molotov ke ara rumah warga dan akhirnya terjadi pembalasan.
Kerugian besar pun dirasakan dengan terbakarnya 30 rumah warga dibakar Desa Gunung Jaya dibakar oleh sekelompok pemuda dari Desa Sampuabalo.
Mengapa pemuda-pemuda itu justru melakukan amuk masa atau tawuran pada hari yang dianggap hari Kemenangan terhadap emosi yang negatif?
Ada yang mengatakan bahwa hal itu sudah dianggap biasa karena tiap tahun dilakukan. Kehadiran mereka untuk merusak itu dianggap sebagai kemenangan sekelompok orang. Â Hal itu sungguh menyedihkan karena bertentangan dengan makna Idul Fitri itu sendiri.
Pemuda atau warga yang masih berjiwa muda memang mudah tersulut emosinya, ketika tindakan mereka yang sebenarnya negatif itu dianggap benar. Â Apakah dari pihak orangtua atau dari pihak keamanan sudah memberikan pelajaran bahwa tindakan mereka itu tidak benar?
Jika orangtua maupun para pemuka agama sudah memberikan wejangan bahwa tindakan mereka itu tidak benar meskipun emosi anak mudah memang mudah meledak, seharusnya mereka mampu menahan diri.
Salah satu narasumber di suatu acara TV mengatakan bahwa "seseorang hanya memiliki kecerdasan intelktula namun tidak memiliki kecerdasan emosional maka hidupnya tidak seimbang. Kecerdasan emosional itu ditunjukkan dengna kemampuan menyelesaikan masalah dengan pikiran dan perasaan, memiliki tingkat kesadaran yang tinggi,kemampuan manajemen diri yang kuat, memiliki rasa sempati .
Diharapkan anak-anak muda yang tawuran dan menghancurkan rumah orang lain itu memiliki empati maupun tingkat kesadara yang tinggi pentingnya menyelami apakah tindakannya itu dibenarkan dan bagaimana orang lain akan menderita karena tindakannya itu.
Semoga di hari kemenangan itu para pemuda memilih untuk jadi pemenang sejati ketimbang pemenang untuk dirinya sendiri.
                                  Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H