Mohon tunggu...
Ina Tanaya
Ina Tanaya Mohon Tunggu... Penulis - Ex Banker

Blogger, Lifestyle Blogger https://www.inatanaya.com/

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Kodokushi, Epidemi Kematian Akibat Kesendirian di Jepang

10 April 2019   16:43 Diperbarui: 10 April 2019   20:25 1893
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Youtube RT Documentary

Di balik gemerlap dan modernisasi Jepang yang begitu hebat sekali, ada cerita yang sangat mengenaskan bagi saya. Saya melihat video yang berjudul "Dying Alone: Kodokushi, Japan's epidemic of isolation through the eyes of a lonely death's cleaner".

Kisah ini dimulai ketika Masatomi Yokoo, seorang lelaki setengah baya yang tugasnya adalah membersihkan semua barang-barang dan kamar kecil dari orang yang meninggal sendirian di Jepang.

Dia bekerja selama hampir 10 tahun di perusahaan yang menyediakan jasa untuk pembersihan tempat dan barang-barang dari orang yang meninggal tanpa diketahui oleh siapapun.

Pekerjaannya itu sangat menggugah nuraninya karena meningkatnya jumlah orang yang meninggal dalam sehari ada 3 orang meninggal tanpa diketahui oleh siapa pun karena dia meninggal sendirian.

Hanya setelah bau busuk dari mayat itu tercium oleh tetangganya, barulah tetangga itu menelpon perusahaan pembersihan dan mereka akan membersihkan tempat kediaman orang yang meninggal itu.

Setiap kali memasuki tempat orang yang meninggal itu, hatinya selalu berdetak, orang meninggal itu dalam kondisi tidur atau dalam kondisi jatuh terlentang.

Semua barang-barang sisa makanan masih dalam kondisi tak tersentuh oleh siapa pun artinya tidak ada sanak keluarga yang mendampinginya. Bahkan ada demikian banyak serangga yang terlihat karena menggerogoti tubuh yang telah membusuk itu.

dok. ZE Journal
dok. ZE Journal

Lalu Masatomi akan menyortir barang-barang seperti buku, kulkas dan tempat tidurnya untuk dijual, dibuang dan didaur ulang. Hanya untuk beberapa barang seperti boneka-boneka yang jadi dipercaya adanya roh di sana, harus diperlakukan dengan baik yaitu disembahyangkan dulu sebelum dimusnahkan.

Semua barang termasuk barang yang sangat penuh memori itu seperti album foto pun harus dilenyapkan tanpa ada yang mengurus dari pihak keluarga. Suatu kehidupan yang cukup keras jika kita melihat kondisi rentan orang Jepang itu yang tidak diurus oleh siapa pun saat meninggalnya.

Sungguh suatu hal ironis sekali ketika melihat banyaknya warga usia lanjut yang meninggal sendirian tanpa ditunggu oleh siapa pun, bahkan keluarga, anak atau menantu.

Fenomena ini terjadi di Jepang yang demografinya hampir 40% adalah usia lanjut. Ada di beberapa daerah tertendu di Jepang seperti di Nishiwari yang warganya hampir 49.1% berusia 65 tahun ke atas. Mereka tinggal sendirian tanpa sanak saudara.

Diperkirakan pada tahun 2065 populasi Jepang akan menyusut dari 127 juta menjadi 88 juta. Diprediksi tahun 2015, akan semakin menyusut mencapai 51 juta. Penyusutan ini seesuai dengan penelitian Institut Populasi dan Riset Keamanan Sosial Jepang.

Pada tahun 2065 hampir 40 persen penduduk Jepang adalah mereka yang berusia lanjut. Sedangkan yang produktif hanya 1,3 orang pekerja untuk tiap orang berusia lanjut di atas 65 tahun.

Mengapa fenomena meninggal sendirian bisa terjadi? Menurut Dokter Isao Takahashi, pada tahun 60-70 ketika proyek engineering sedang sangat "booming" di Jepang, bahkan banyak dibutuhkan tenaga-tenaga muda dari beberapa tempat untuk kerja di lapangan. Tenaga muda itu direkrut dari tempat-tempat yang jauh, datang ke proyek itu tanpa membawa keluarganya.

Mereka bekerja sampai di tahun 90-an ketika pekerjaan untuk proyek engineering itu mulai menyusut. Usia mereka tidak lagi muda dan mereka harus pensiun. Lalu mereka hanya mampu hidup sendirian dan tidak dapat menghubungi lagi keluarganya.

Foto: HuffPost
Foto: HuffPost

Di antara lanjut usia itu, ada seorang nenek usia sekitar 80 tahun bernama Mariko Hirotaka. Mariko juga hidup sendirian tanpa keluarga. Tanpa keluarga, rasa kesepian membuat Mariko datang nongkrong di satu kafe yang sempit.

Hampir dua kali dalam sehari, Mariko nongkrong di kafe ini untuk makan dan berinteraksi dengan orang yang mau diajak bicara atau pemilik kafe. Pemilik kafe yang usianya juga sudah lanjut itu bercerita bahwa hampir semua langganannya adalah mereka yang sudah berusia lanjut.

Mereka ini ada yang memiliki anak perempuan atau lelaki. Tetapi ikatan keluarga di sana tidak kuat sehingga para orangtua ini tidak mau menyusahkan anak, memilih untuk hidup sendiri. 

Hidup sendiri tanpa kegiatan di masa tuanya dan badan yang sudah rentan sakit itu tak mampu untuk berjalan. Akhirnya, mereka hanya pasrah dan meninggal dunia tanpa ditunggu oleh siapa pun.

Ironis melihat kondisi lanjut usia di Jepang yang tak lagi punya ikatan kekeluargaan harus terlantar saat meninggal untuk dibersihkan oleh petugas kebersihan perusahaan swasta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun