Suatu keistimewaan karena pada hari ini tanggal 22 Januari 2018, dijadikan hari Pejalan Kaki. Â Saya sendiri kagum sekali dengan kebijakan yang menyediakan satu hari istimewa bagi pejalan kaki. Namun, apakah semua pejalan kaki sudah merasakan haknya dipenuhi dengan adanya hari istimewa ini?
Realitas vs  Kebijakan:
Bagi saya, pejalan kaki dengan usia yang sudah tidak muda lagi, begitu harus jalan kaki melewati jalan-jalan besar tapi tidak disediakan jalan setapak untuk pejalan kaki merupakan kengerian tersendiri.
Bagaimana tidak?Â
Kemungkinan hari istimewa ini diperingati karena adanya kasus tabrakan di Jalan MI Ridwan Rais Gambir, sekitar tahun 2012. Ketika 12 pejalan kaki sedang berjalan kaki dengan tenang, tiba-tiba disambar oleh sebuah mobil. Sembilan orang tewas seketika dan jika melihat kejadian itu, penyebabnya adalah hampir ratanya di jalan besar dengan aspal. Â Â
Tentunya ini sangat membahayakan bagi pejalan kaki. Apabila mobil dengan pengemudi yang tidak sabar, atau pengemudi yang sedang mabuk, dia bisa membawa mobilnya menabrak ke mana saja. Ketika bentuk trotoar tidak dibuat aman dengan ketinggian yang beda dengan jalan, maka akibatnya bisa fatal, pejalan kaki jadi sasarannya. Â
Belum lagi bagi saya pejalan kaki yang memanfaatkan trotoar untuk menembus keramaian jalan setelah turun dari bus atau kereta api, ternyata trotoarnya sudah dipenuhi dengan PKL.
Yang menakutkan bagi saya adalah ketika sebuah trotoar itu ada, tapi dibuat dengan setengah hati, hanya separuh badan jalan, yang separuh lagi tidak ada sambungannya. Lalu kembali saya harus bertarung dengan mobil-mobil dan motor yang sekali-kali menyenggol pejalan kaki. Â
Aman dan nyaman masih jauh dari apa yang diharapkan dari pejalan kaki di DKI Jakarta.  Di Jakarta, saya pernah melihat  PKL memadati semua trotoar, bahkan trotoar dijadikan untuk parkir motor. Nasibnya pejalan kaki harus berjalan ke arah jalan besar yang risiko untuk tertabrak motor atau mobil sangat besar.Â
Di trotoar di Tanah Abang yang baru saja selesai perbaikannya, diperlebar jadi 5 meter. Sesungguhnya suatu kenyamanan akan diperoleh bagi pejalan kaki. Â Lagi-lagi kenyataannya, trotoar yang bagus ini hanya sekedar jadi, tidak tahu mau diapakan. Syukur dipakai, kalau tidak juga tidak apa. Komitmen dan kebijakan Pemerintah DKI seolah tidak berpihak kepada pejalan kaki.
Sebentar lagi proyek besar MRT dan LRT yang sangat didambakan oleh masyarakat pengguna jalan akan selesai. Infrastruktur yang integrasi diharapkan dapat membuat masyarakat beralih ke moda transportasi berbasis massal.
Sayangnya, kebijakan yang mendukung MRT dan LRT tidak atau belum juga memperhatikan pendukung seperti  trotoar.  Aksesabilitas pejalan kaki untuk mencapai moda transportasi massal belum banyak diperbaiki.
Di daerah protokol dan banyak pemakai jalan di sana, di dekat stasiun Sudirman, Stasiun MRT Dukuh Atas, Halte Transjakarta Karet, perlu ditingkatkan dengan pembangunan trotoar di sekitarnya.
Dana untuk pembangunan trotoar sebenarnya sudah ada  di APBD DKI. Demikian juga  penganggaran di tahun 2019 kembali Pemprov DKI ngga main-main anggarannya trotoar sebesar Rp733,71 milliar.
Implementasi Kebijakan yang Tegas
Tidak hanya membangun trotoar yang diperlukan, tapi implementasi ketegasan pemerintah untuk menindak semua kendaraan seperti motor yang masuk ke trotoar, PKL yang gunakan trotoar. Â Menindak bukan dengan kekerasan, tapi kesadaran masyarakat pun diberikan bahwa trotoar itu fungsinya untuk pengguna jalan bukan untuk PKL atau motor.
Kesadaran masyarakat pengguna motor dan PKL juga perlu diperhatikan apabila Anda menggunakan trotoar itu sebagai alternatif untuk mencari makan atau untuk cepat menghindari jalan, maka Anda juga mengambil hak seorang pejalan kaki.Â
Semoga ketegasan Pemerintah untuk pengguna jalan dapat dirasakan keamanan dan kenyamannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H