Beberapa minggu ini saya kaget ketika mendengar dua orang teman yang kena sakit vertigo. Â Saya tak pernah berpikir apa penyebabnya dua teman ini bisa terkena vertigo. Â Dua orang teman ini hampir tak pernah mengeluh sakit vertigo selama ini.
Salah seorang teman itu sampai mengatakan kepada saya : Â "Seperti gempa bumi". Â Saya lalu membayangkan bagaimana rasanya gempa bumi itu. Â Berputar-putar dan serasa melayang. Itulah gambaran saya tentang vertigo.Â
Bukan vertigonya yang ingin dibahas di sini.  Karena vertigo itu disebabkan oleh banyak faktor.  Cari-cari di google, penyebab vertigo itu  karena adanya peradangan di telinga bagian dalam atau karena adanya infeksi virus. Selain itu, vertigo jenis ini disebabkan oleh beberapa hal lain seperti: Benign paroxysmal positional vertigo.
Ternyata ketika teman saya ditanya oleh dokter saat diperiksa, bagaimana dia merasa vertigo, dia menjelaskan dengan detail. Â Saya bangkit dari sofa , tiba-tiba tubuh saya oleng. Sakit kepala yang hebat, bahkan sempat muntah.Â
Lalu ketika diperiksa dengna alat-alat dan ternyata dokter mengatakan vertigo yang diderita teman itu karena terlalu intens berinteraksi dengan telpon seluler (ponsel).
Tetapi teman saya tidak menyetujui pendapat dokter bahkan sempat beradu argumentasi . Dia mengatakan teman saya yang juga sama-sama senang main ponsel, mulai dari bangun tidur, lihat facebook, mau makan lihat facebook, pergi lihat facebook, pulang lihat facebook, sebelum tidur lihat facebook. Hidupnya berjam-jam jika dihitung tak pernah lepas dari layar ponselnya.
Seolah kehidupannya sudah menyatu dengan gadget dan yang dilihat ternyata adalah media sosial saja.Â
Kecanduan memapar gadget bukan hanya menyebabkan vertigo, tapi juga dapat menimbulkan perceraian. Â Seorang suami muda berusia sekitar 30 tahunan ingin menceraikan istrinya. Alasannya gara-gara istrinya yang telah kecanduan dengan belanja secara daring. Sehari bisa belanja mencapai Rp.4 juta . Di rumah tangannya tak pernah lepas dari ponsel. Selalu ia mengecek aplikasi belanja. Di kantor juga demikian. Seolah gadget itu lengket di tangannya.Â
Sang istri justru merasa pusing jika dilarang untuk mengecek , melihat dan menggunggah aplikasi belanjanya.  Kondisi akan menimbulkan efek yang sangat  mengganggu perkembangan jiwanya.
Perkembangan kecanduan belanja daring, digital selalu ditandai dengan membeli sesuatu walaupun tidak butuh, lalu badannya merasa pusing jika tidak diperkenankan.
Gejala orang candu digital hampir sama dengan candu narkoba. Bedanya tidak ini tidak ada larangannya. Â Efek dari candu digital berbeda-beda, mulai dari kadar pusing, mata lelah, stres, sistem kerja saraf di jari yang terganggu, depresi, gangguan fungsi sosial.
Bahkan salah satu efeknya juga membuat mata cepat lelah, kering dan iritasi karena ketagihan dengan perngkat digital. Â Otot mata dipaksa bekerja terus dan berkontraksi karena untuk melihat jarak dekat dalam waktu lama.
Bagaimana mengatasinya?
Puasa notifikasi:
Bukan hal yang mudah untuk berpuasa dengan gadget. Â Kita harus mengetahui sejauh mana tingkat kecanduan itu. Â Jika sudah ditingkat yang parah, maka orang itu harus benar-benar mengurangi melihat gadget . Â Caranya tentu dengan tidak memasang notifikasi di gadget sehingga tidak ada lagi bunyi-bunyian yang menandakan ada pesan. Â
Metode 20-20-20:
Seorang dokter mata , dokter Karinca, memberikan metode 20-20-20 artinya melakukan pengalihan pandangan dari layar setiap 20 menit, sejauh 20 kaki selama 20 detik. Â Hal ini sangat bermanfat agar mata tidak lelah untuk mengurangi menatap secara dekat dan mengraki dampak buruk layar.
Sadar manfaat dan kerugiannya
Ingat bahwa saat kita tidak memiliki gadget, kita masih bisa hidup dengan leluasa dan berinteaksi dengan siapa saja bukan dengan gadget.
Apabila kesadaran bahwa apa yang hilang itu ternyata menguntunkan maka cobalah mengembalikan dengan mencoba membatasi penggunaan gadget.
Mindfulness:
Ada cara yang sangat baik untuk mengisi kekosongan waktu kita . Daripada melihat gadget setiap waktu, gunakan waktu kosong itu dengan yoga. Â Yoga melatih pikiran, jiwa kita kepada ketenangan yang sangat dalam. Â Ini bukan ajaran agama, tetapi lebih kepada praktek menyeimbangkan kesehatan jiwa, badan dan mental agar ketenangan yang berasal dari alam itu dapat kita dapatkan dengan badan yang rileks dan jiwa yang tenang, kita dapat menikmatinya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H