Indonesia masih harus belajar banyak soal bencana. Â Yang pertama adalah manejemen mitigasi bencana dimana posko bencana perlu ditentukan sejak awal supaya para korban tidak berkeliaran membangun tempat-tempat untuk tinggal sementaranya sendiri . Â Hal ini mempersulit untuk distribusi bantuan.
Begitu terjadilanya bencana Palu, Donggala, dan Sigi, memang sangat memilukan hati bagi semua warga Indonesia. Â Hampir semua stasiun TV Â dalam program "breaking news" menyiarkan kegiatan evakuasi korban bencana di Palu, Donggal maupun Sigi berhari-hari bahkan berminggu-minggu. Â
Ketika  program "breaking news" itu itu tak henti-hentinya disiarkan, mau tidak mau hati maupun emosi kita seperti teraduk-aduk penuh dengan rasa pilu, duka dan kasihan.  Lalu, tiba-tiba semua orang baik itu komunitas, RT , maupun tempat keagamaan seperti gereja  menyuarakan kepada pesertanya atau warganya agar menyumbang bencana Palu.
Tentu saja kita sebagai warga maupun manusia ingin menunjukkan solidaritas kemanusiaan yang tinggi dengan menyumbang uang karena tenaga tentunya tidak bisa. Apalagi saya yang sudah tua, tidak mungkin untuk datang ke Palu sebagai relawan.Â
Namun, yang terjadi adalah bertubi-tubi semua orang atau semua komunitas minta kesadaran dari warganya/anggotanya untuk menyumbang dana bagi bencana itu.
Sebagai manusia yang beriman tentu seruan itu pasti harus diperhatikan dan ditanggapi dengan baik dengan respon memberikan sumbangan.
Timbullahnya berbagai permintaan sumbangan dari bermacam-macam organisasi /orang maupun komunitas .  Sebagai warga tentu bingung  sebenarnya siapa yang berhak meminta sumbangan dan bagaimana sumbangan itu dikelola dengan baik?
Sebagai warga tentunya punya hak untuk menolak permintaan sumbangan yang bertubi-tubi. Seringkali ada warga yang merasa malu jika menolak.
Namun, kita perlu belajar untuk menciptakan manajemen dana sumbangan bencana dengan akuntabilitas yang transparan. Â
Jika ditinjau dariUndang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana ("UU 24/2007"). Bencana berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU 24/2007 adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
Sedangkan bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah langsor (Pasal 1 angka 2 UU 24/200
Pada dasarnya, dana penanggulangan bencana menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah dan pemerintah daerah yang mana pemerintah dan pemerintah daerah juga mendorong partisipasi masyarakat di dalamnya sebagaimana disebut dalam Pasal 60 angka (1) dan (2) UU 24/2007.
Pengelolaannya Dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana, pemerintah memiliki tanggung jawab, antara lain meliputi (lihat Pasal 6 UU 24/2007):
a. pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam anggaran pendapatan dan belanja negara yang memadai;
   b. pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam bentuk dana siap pakai.
 Dalam hal ini Pemerintah akan menggunakan Adapun dana penanggulangan bencana itu berasal dari [Pasal 4 ayat (2) PP 22/2008]:
a. APBN;
b. APBD; dan/atau
c. masyarakat.
Jika dana penanggulanan bencana itu berasal dari masyarakat, tentunya Pemerintah harus cepat tanggap untuk mensosialisasikan kepada masyarakat bahwa semua sumbangan harus ditransfer ke rekening khusus untuk Dana Bencana di bank tertentu atau beberapa bank.
Semua penerimaan dana yang terkumpul harus dicatat, dimasukkan dalam suatu data akunting sebagai pemasukan .  Semua pengeluaran pun harus dicatat dan diberikan bukti bahwa pengeluaran itu memang dipakai untuk keperluan korban, relawan dan sebagainya.  Benedahara  Umum Negara wajib bertanggung jawab untuk menyajikan laporan Keuangan sebagai pertanggungan jawaban pengeloaan keuangan yang dibiayai oleh masyarakat.
Bagi pihak perantara seperti BNPB yang menerima dana bantuan itu sementara untuk keperluan sehari-hari atau disebut dengan biaya operasional puna harus memberikan bukti pengeluarannya . Bukti pengeluaran itu harus disampaikan tertulis kepada Bendahara Umum Negara.
Semua tindakan pemasukan dan pengeluaran ada bukti tertulis dan diadit oleh pihak ketiga. Setelah itu hasil audit dilaporkan kepada penyumbang dana secara transparan, terbuka dan periodik.
Kepercayaan pengelolaan atas sumbangan itu menjadi tanggung jawab penuh dari seluruh stakeholder yang terkait dengan pengelolaan dana sumbangan.
Hal ini semua untuk menghindari dari hal-hal yang tidak diinginkan, korupsi oleh pihak tertentu dan juga penyaluran yang tidak terindentifikasi dan penerima bukan orang yang pantas menerima sumbangan.
Tentunya semua  anggota pengurus maupun BNPB  juga dianggap orang yang profesional menjalankan tugasnya untuk mengelola dana sumbangan dengan sangat "prudent" , dapat dipercaya, dan bertanggung jawab atas dana yang dititipkan oleh masyarakat.  Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H