Mohon tunggu...
Ina Tanaya
Ina Tanaya Mohon Tunggu... Penulis - Ex Banker

Blogger, Lifestyle Blogger https://www.inatanaya.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Trauma Healing untuk Luka Batin dan Kesehatan Mental

15 Oktober 2018   16:22 Diperbarui: 23 Oktober 2018   21:28 1197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saat terjadi gempa bumi  di Palu, Donggala yang cukup besar 7. magnitudo, diiringi dengan tsunami yang mengerikan.   Bagi orang yang mengalaminya pasti gulungan air yang datang bagaikan bah dan menyebabkan ribuan korban manusia meninggal itu merupakan suatu traumatis yang sangat tak mudah dilupakan.   

Trauma itu bukan hanya bagi korban saja.  Tapi juga bagi mereka yang menyaksikan melalui video,  beberapa diantaranya langsung sering merasa panik jika ada gempa, berpikir bahwa sebentar lagi akan terjadi tsunami. Kekhawatiran yang berlebih-lebihan, itu jika terus menerus terjadi dan memungkinan peristiwa itu terjadi di daerahnya membuat luka batin hatinya.

Pengalaman pahit, tidak mengenakan, memalukan, frustrasi, terjadi berulang-ulang membuat individu menghindari situasi serupa . Hal itu akan menimbulkan trauma atau luka batin (Maxwell Maltz). Contohnya:  orangtua yang bertengkar di depan anaknya, 

Ketika seseorang menerima perlakukan yang tidak seharusnya akibat tekanan-tekanan peristwa atau kenangan pahit masa lampu dan terus melekat dalam memorinya seseorang maka jiwanya menjadi luka batin. (J.P. Chaplin).   Contoh,  ayah yang otoriter dalam mendisiplinkan anaknya selalu mencambuk anaknya jika tidak menurut apa yang dikatakan oleh ayahnya.

Semua orang pernah mengalami luka batin, hanya kadarnya tentu masing-masing orang berbeda.   Luka batin ini akan mempengaruhi kebahagiaan diri sendiri , relasi dengan oranglain bahkan orang-orang yang kita cintai.    Oleh karena itu luka batin perlu disembuhkan atau dipulihkan.   Namun, sayangnya tampaknya pada hampir semua orang orang luka batin menjadi permanen karena orang memiliki kecenderungan untuk "melupakannya".

Dalam psikologi ada istilah DiOSIASI artinya ada keterpecahan manusia dengna dirinya.  Penyebabnya adalah trauma, abuse yang dialami pada masa lalu/masa kanak-kanak, alias luka batin.   Tarikan-tarikan untuk memikirkan , merasakan dan bertindak berbeda dengan dirinya yang asli.

Dampak dari luka batin terhadap diri sendiri dan sesamanya seringkali berakhir dengan fatal atau di luar jalur norma.  Kehidupan pribadinya tidak stabil. Contohnya merasa  tidak nyaman dalam rumah sendiri karena ada sesuatu yang membayangi dirinya. 

Begitu pula dengan relasi dengan orang lain selalu bermasalah, contohnya selalu merasa curiga terhadap orang lain  dianggapnya orang itu berbuat salah tanpa suatu fakta kebenaran yang mendukungnya. Timbullah friksi yang berakhir dengan suatu hal yang tidak baik.

Dampak yang lainnya, tidak peduli dengan luka batinnya sendiri atau sebaliknya justru terlalu memperhatikan mereka yang mengalami luka batin.

Selalu ingin memberontak jika mendengarkan sesuatu yang dinasehatkan.  Sulit melihat sesuatu dari kejernihan hati dan fakta yang ada, tetapi selalu berdalih menurut apa yang yang tidak normal.

KESEHATAN MENTAL:

Apabila kita menemui orang-orang yang bertingkah laku eksentik, aneh, tidak mampu berfungsi optimal dalam kehdupan sehari-hari, ada distres subjektif seperti fobia yang sangat, maka orang itu  gagal dalam penyesuaian.  

Penyesuaian itu memang tidak mudah.  Ada dua hal yang harus dilakukan untuk penyesuaian yaitu dari lingkungan atau dari diri kita sendiri.   Penyusaian dari lingkungan, artinya  kita tidak bisa mengubah diri kita, tetapi kita harus adaptasi terhadap lingkungan contohnya udara yang panas sekali, tidak mungkin membuat hujan. Salah satu adaptasinya adalah dengan memasang AC .

Penyesuaian dari diri sendiri maka kita harus mengubah diri untuk beradaptasi  dengan  lingkungan . Contohnya pada acara resmi, setiap orang diharuskan memakai pakain formil karena acara bersifat formil.  Jika kita mengenakan pakaian bebas, maka kita gagal dalam penyesuaian diri .

Parameter dalam menentukan apakah seseorang itu sehat mentalnya atau tidak , dilihat dari dua pendekatan:

  • Statistik: berdasarkan frekuensi kemunculan perilaku.  Jika perilaku normal itu antara rentang 0-100, tetapi angka kita berada dibawah nol dan di atas nol maka kita diangkap tidak sehat
  • Norma/Budaya berdasarkan nila-nilai kebudayaan yang berlaku di suatu setempat. Contohnya jika di Indonesia, anda mengenakan pakaian bikini, maka kita diangkap orang yang tidak sehat.
  • Distres subjektif artinya apakah individu itu merasakan adanya tekanan atau tidak :
  • Distres subjekif itu ada tiga bagian yaitu:
  • Positif:  contohnya kita tertekan karena banyak pekerjaan sebagai panitia suatu proyek dimana pekerjaan itu harus diselesaikan dalam waktu yang sangat singkat. Waktu jadi stres positif.
  • Distres negatif:  contohnya seseorang mahasiswa/i  sudah mendekati ujian semester. Dia tak mau belajar, malas, merasa sedih karena hal-hal yang tidak wajar.
  • Fungsi atau peran sosialnya :  tidak mampu menjalankan perannya . Contohnya seseorang itu sebagai seorang mahasiswa perannya belajar; dia sebagai anak tertua perannya mengayomi adik-adiknya dan memberikan teladan kepada adik-adiknya;   dia sebagai bagian komunitas dia berinteraksi atau berkomitmen antar sesama anggota. Jika dia jadi pengurus komunitas dia mampu bertanggung jawab atas tugasnya sebagai pengurus.
  • Interpesonal:  apakah dia mampu untuk menjalin relasinya dengan orang lain.  Jika kita memiliki mental sehat, mampu memelihara hubungan baik dalam pembicaraan maupun sikap kita terhadap teman, relasi.   

Ada beberapa penyakit gangguan mental:

Depresi:  jika kita kehilangan minat, kegembiraan, energinya berkurang, mudah lelah, menurunnya aktivitas. Gejala lainnya tidak dapat berkonsentrasi, kepercayaan diri berkurang, merasa bersalah, tidak berguna, pesimistis, keinginan bunuh diri, gangguan tidur dan nafsu makan.

Gangguan kecemasan:  Dimulai dengan kecemasan umum , ketegangan, motorik (gelisah, sakit kepala, gemetaran), overaktivitas otonomik.   

Fobia: takut, cemas, pada objek yang seharusnya tidak membahayakan.

Panik: Datangnya secara tiba-tiba pada situasi yang sebenarnya tidak berbahaya.

Gangguan stres Pasca Trauma:   Harus dipulihkan apabila setelah 6 bulan kejadian traumatik masih sering muncul. Bayang-bayang atau mimpi-mimpi buruk yang dialaminya secara berulang-ulang.

Prinsip-prinsip mengembangkan kesehatan mental diri dan lingkungan:

Bertingkah kau menurut norma-norma sosial yang telah diakui.  Jika kita harus bersalaman saat berkenalan atau memberikan salam ketika masuk ke rumah seseorang. 

Mampu mengelola emosi.  Meskipun kita dalam kondisi marah di kantor, tetapi saat kita tiba di rumah, maka kita juga mampu mengendalikan kemarahan kita tidak dibawa ke rumah.

Mampu mengaktualkan potensi-potensi yang dimiliki. Setiap orang pasti punya potensi yang diberikan oleh Tuhan kepada kita. Galilah dan terus kembangkan sehingga kita mampu punya nilai positif. Contohnya punya potensi bahasa Inggris.  Coba mengajarkan kepada mereka yang ingin belajar tetapi tidak mampu untuk belajar.

Mampu mengenal resiko dari setiap perbuatan dan kemampuan tersebut digunakan untuk menuntun tingkah lakunya.   Jika saya tidak punya uang, tidak berarti saya harus berutang banyak. Kita tau apa resiko berutang itu, mengembalikannya , jika tidak bisa maka kita akan dipenjara.

Mampu menunda keinginan sesaat untuk mencapai tujuan jangka panjang.  Jika ada kelebihan uang dari gaji, sebaiknya ditabung. Bukan untuk membeli handphone, baju merek yang mahal.

Mampu belajar dari pengalaman.  Jika kita mengalami hal-hal buruk, seperti dicopet, dihipnotis, kita tentu tidak ingin mengalaminya lagi. Kita belajar berhati-hati  dalam meletakkan barang berharga dan tidak mudah mempercayai apa yang dikatakna orang lain yang tidak benar.

Refleksi menjadi lilin kecil dari pemulihan kesehatan mental.  Namun, diperlukan pra-kondisi pemulihan.   Pra kondisi pemulihan dapat terjadi jika sitasi yang dirasakan itu cukup aman. Contohnya jika seseorang datang ke kantor konselor psikolog klinis. Di dalam ruangan terdapat gambar sapu . Gambar sapu itu langsung membuatnya tidak nyaman karena mengingatkannya bayang-bayang kekerasan yang dilakukan oleh ayahnya.  

Hubungan atau relasi yang terjalin pun harus saling menyembuhkan.  Tidak bisa seseorang yang dalam kondisi depresi langsung divonis salah bermacam0macam. 

Dari pihak pasien yang sedang dalam kondisi mental tidak sehat, harus memiliki motivasi dan keyakian bahwa dia bisa sembuh.

Kesempatan seseorang untuk bisa belajar kembali tentang kesehatan mental jadi modal utama.  Seseorang berhasil mengalami kembali kehidupan baru bukan melihat dan membicarakan pengalamannya.

Refleksi  dan latihan pernafasan yang sangat membantu pemulihan. Meditasi dengan Mengingat akan perbuatan baik yang telah kita miliki dan kita senangi.  Semuanya itu akan menenangkan jiwa kita. Pada akhirnya, jiwa dan mental sehat harus dibangun dengan kemampuan

Latihan pernafasan dengan cara menarik nafas dalam-dalam, keluarkan lewat mulut beberapa kali . Bernafas dengan lembut tanpa bertenaga dan konsentrasi hanya di nafas saja. Kalau pikiran melantur, biarkan, sadari dan kemudian membawa kembali pada kesadaran nafas.

Sumber: 

Luka Batin & Kesehatan Mental oleh Siswanto, SPsi., M.Si., Psikolog

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun