Mohon tunggu...
Ina Tanaya
Ina Tanaya Mohon Tunggu... Penulis - Ex Banker

Blogger, Lifestyle Blogger https://www.inatanaya.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Penerimaan Diri Menguatkan Ikatan Pernikahan

10 Oktober 2018   10:58 Diperbarui: 11 Oktober 2018   10:53 343
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suatu kali seorang perempuan muda yang akan menikah bertanya kepada saya:  "Apakah jaminan agar pernikahan saya tidak gagal di tengah jalan?"

Pertanyaan yang sangat sulit untuk dijawab karena pernikahan itu adalah menyatukan dua karakter/pribadi  yang berbeda menjadi satu dalam bentuk pernikahan.  Memang karakter dari setiap individu itu tak bisa dirubah dan tak mungkin  diubah.   Karakter orang dewasa sudah terbentuk   dari diri sendiri tidak mungkin menjadi orang lain. Namun, ada satu dasar pernikahan yang harus dipegang secara teguh bahwa suatu pernikahan itu adalah mengenal dan menerima diri sendiri dulu .

Mengenal dan menerima diri sendiri itu tak semudah membalikkan tangan. Adakalanya seseorang itu hanya mengenal dirinya dari kelemahannya sendiri dan tak mengakui kekuatan dirinya.  Sebaliknya ada  juga yang hanya mengenal dan mengakui kekuatan dirinya dan tak mau peduli dengan kelemahannya.  Akibat dari tidak mau mengenal dan mengakui dari kelemahan maupun kekuatan dirinya, orang itu akan menjadi orang yang selalu menyalahkan orang lain. Selalu mencari kambing hitam, selalu tidak menerima orang lain karena kelemahannya maupun kekuatan orang lain.

Pentingnya penerimaan diri:

Hampir setiap orang pernah mengalami masa-masa kelam, masa sulit dan traumatis dalam hidupnya. Entah itu kehilangan harta benda karena kesalahannya sendiri atau justru dicuri oleh orang lain bukan karena kesalahan diri sendiri,  atau ada juga yang disakiti oleh orang lain yang disayanginya, ada yang pernah menjadi seorang anak yang tak pernah diterima oleh orangtuanya sendiri karena cacat tubuhnya.

Pelbagai kasus negatif yang pernah terjadi dalam dirinya itu jadi bayang-bayang gelap saat dia kesal atau tidak bisa menerima kondisi buruk itu.

Kondisi buruk tentunya dapat terjadi setiap saat karena kehidupan itu terus berputar . Hanya dengan sikap spiritual yang positif bahwa  hal-hal yang negatif itu di luar kemampuan dirinya untuk menghindari.   Bukan karena keinginan sendiri atau bukan karena hasil dari perbuatannya.  

Setelah mengerti dan memahami bahwa peristiwa itu adalah sesuatu yang tak bisa dihindari, maka dengan spiritual positif, dia mengambil alih semua kejadian yang buruk itu dengan suatu semangat bahwa saya menerima peristiwa itu karena ada hikmah yang diberikan atas peristiwa itu.  Saya menerima apa yang telah terjadi dan tidak bersikap resistant atau menolaknya .

Dengan penerimaan diri itu otomatis kondisi psikologis yang dulunya kesal dan marah terhadap apa yang terjadi dengan dirinya, mulai sedikit demi sedikit berubah menjadi orang yang positif dan mengakui bahwa dia tidak sempurna .

Cara penerimaan diri

Perubahan mindset bahwa saya harus mampu mengubah diri saya .   Tidak harus bertanya terus kenapa ini terjadi pada diri saya. Kenapa saya tidak seperti dia yang pandai, kaya dan panda bergaul, cantik dan lain-lainnya.

Perubahan mindset ini hanya dapat dilakukan bersamaan dengan dasar spiritual yang benar, pada dasarnya manusia diciptakan oleh Tuhan dengan keunikannya. Tidak ada yang bodoh, jelek, atau miskin di hadapanNya.  Hanya manusia saja yang membedakannya.  

 

 Relasi diri vs relasi dengan pernikahan

Orang yang sudah menerima dirinya sendiri jadi terbuka menerima orang lain seadanya.  Artinya lebih mudah baik seseorang yang sudah menerima dirinya untuk menerima orang lain. Menerima orang lain dengan apa adanya, kekurangan maupun kelebihannya .

Ada suatu mata rantai yang sangat jelas sekali , saat orang yang menerima dirinya sendiri tak pernah lagi melihat kekurangan orang lain sebagai suatu hal yang harus dibesar-besarkan atau sebaliknya iri hati ketika melihat kelebihan orang lain.

Dengan adanya relasi yang sangat mudah menerima orang lain, maka hubungan fisik dan emosi antara dua orang dalam suatu pernikahan pun makin jauh dari friksi.

Hubungan emosional yang tak lagi dipengaruhi oleh kekurangan diri karena dirinya sudah menjadi sesuatu yang positif dalam penerimaan orang lain.

Itulah sebabnya, ketika seseorang hendak memasuki pernikahan diharapkan orang tersebut sudah selesai dulu untuk menerima dirinya .  Barulah setelah itu dia bisa menikah dengan orang lain yang notabene tidak sempurna seperti dirinya.

Jika orang terlanjur menikah tapi belum selesai dengan dirinya, kesulitan sering terjadi pertengkaran karena dia selalu menyalahkan suami/istrinya sebagai pasangan yang punya kekurangan . Dia tak pernah melihat kelebihan orang lain. Fokusnya hanya kepada kekurangan saja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun