Sebagai Menag, aku gelisah sekali melihat banyak jempol "gatal di Medsos yang sangat mengganggu baik itu persatuan nasional maupun merusak pendidikan bagi bangsa ini.
Lebih mengagetkan lagi bahwa  jenis layanan yang terbesar kedua yang diakses oleh pengguna di atas adalah Media sosial 87.13%  (lihat table).
Dengan data ini dapat menggambarkan fenomena yang terjadi di masyarakat Indonesia saat ini yang boleh dikatakan cukup mengkhwatirkan.
Beberapa waktu yang lalu yang sedang heboh terjadi suatu platform "tiktok"seseorang bocah lelaki berusia 14 tahun menggunggah dirinya menjadi selebritas dadakan. Â Platform tiktok adalah aplikasi media yang mengakomodasi pengguna untuk berkreasi merekam video selama 15 detik secara lip-sync.
Nyatanya hasil unggahan bocah itu bukannya menjadi sesuatu yang baik dan kreatif, tapi justru sebaliknya  sesuatu yang membuat bocah itu harus berurusan dengan hukum dan kejiwaan.  Ini akibat buruk dari seseorang yang membully dengan komentar kejamnya dan tak senonoh.  Diikuti dengan warganet yang terus ikut-ikutan sehingga anak ini jadi korban hukum akunnya  dihilangkan dan dia sendiri kehilangan kepercayaan dirinya tidak berani datang ke sekolah dan tidak mau bersekolah.  Ibunya terpaksa harus mengadakan home schooling buat putranya karena anaknya tidak mau sekolah sama sekali.  Ini sangat miris sekali bukan.
Buntut dari unggahan-unggahan yang tak mendidik itu , Â platform "tiktok" diban atau dihapuskan oleh Menkominfo.
Bukan hanya bocah yang tidak terkenal saja yang dibully, tapi juga para selebritas pun ikut jadi gempuran dari  komentar buruk dengan kata-kata yang menyakitkan seolah orang yang mengatakan itu sudah mengetahui motivasi dari posting itu. Contohnya inginnya memposting berita gembira tentang kelahiran putrinya yang lucu.  Namun, alih-alih yang dilihat bayinya, justru baju ibunya yang dianggap kurang senonoh jadi sasaran cacian kejam dan tak beradab dari para netizen.
Ternyata kebiasaan buruk itu bukan hanya "bullying" , mereka juga suka sekali  membaca berita tanpa "smart"  dan lalu menyebarkan dengan jemarinya dalam sekejab.  Jika satu berita itu dikirimkan oleh netizen yang pengikutnya sudah mencapai ribuan atau bahkan puluhan ribu,  otomatis penerimanya mencapai ribuan/puluhan ribu. Dari penerima yang ribuan itu mereka juga melakukan hal yang sama, tidak berpikir cerdas dan mengecek kebenaran berita itu,  terus menyebarkan kepada pengikutnya.  Aku sebagai Menag jadi bingung sekali hanya dalam hitungan detik berita tidak benar itu sudah menyebar ke seluruh penjuru Indonesia.  Akibatnya tentu sangat buruk,  jika berita itu meresahkan warga, mereka akan menjadi takut, khawatir apa yang terjadi sebenarnya.  Belum lagi berita yang tak ada ujung pangkalnya yang meresahkan bisa  membuat mereka marah kepada Pemerintah, melakukan demo dengan dasar yang tak kuat sama sekali.
Fenomena yang berefek racun dishibisi daring  harus disikapi serius banget, dan tak boleh dibiarkan terus menerus menggerus kesatuan dan pendidikan moral yang turun.  Bahkan hoax atau berita palsu itu menjadi salah satu ancaman cyber yang sangat berbahaya.  Berita hoax jadi sumber konflik, baik individu ,kelompok maupun bangsa.
Jika aku jadi Menag,  aku tak membiarkan hal ini berlangsung terus menerus karena warganet ini memang perlu pembelajaran diri dalam berinternet .  Tapi aku tak mampu bekerja sendirian karena jumlah pengguna internet usia belia  itu sebagai mana yang sudah  kucantumkan di atas adalah 87.13% dari 140 juta artinya  ada 121,982,000 anak yang akses medsos. Aku perlu bantuan untuk bekerja sama dengan kalian semua para blogger termasuk Kompasianer untuk memberikan literasi digital tentang bagaimana beretika  dalam internet.  Aku perlu Anda semua untuk mengkampanyekan maupun untuk meliterasikan berikut ini kepada semua pengguna Medsos.
Literasi Medsos:
- Medsos adalah media terbuka untuk semua orang /publik.  Jadi ada etika yang jadi landasan untuk bermedsos seperti halnya dalam dunia nyata, setiap individu  harus mempunyai etika dan tanggung jawab ketika berhadapan , berkomunikasi tertulis maupun visual .
- Pelajari  Digital Literacy berdasarkan UNESCO:  kemampuan accessing, analzing,evaluating, integrating, creating dan communication  information.
- Accessing kemampuan untuk mengindetifikasi sumber berita digital dengan teliti.  Setiap berita yang masuk jangan disebarkan, harus diteliti dulu sumber beritanya. Mencari sumber dapat di lihat dengan akses website  "EasyBib's Website Evaluation tool"  atau www.webeval.easybib.com/
- Â Managing yaitu kemampuan untuk mengklasifikasikan sumber dan jenis berita yang paling dan terpercaya
- Evaluating berkaitan dengna membuat penilaian yang berkaitan dengan kebermanfaatan, kekuratan,kualitas dan relevansi dari sebuah berita.
- Integration adalah kemampuan untuk menganlisa,merangkum, menyimpulkan, membandingkan dan mengkormasi sebuah informasi dari berbagai sumber.
- Creating adalah kemampuan individu dengan bagaimana seseorang mampu beradaptasi , mengaplikasikan menciptakan dan menulis sebuah informasi dengan baik dan benar.
- Communicating adalah kemampuan untuk menyebarkan dan mengkomunikasikan informasi secara cepat dengan menggunakan platform yang tersedia.
Jika aku sebagai Menag, aku membutuhkan para blogger dan Kompasianer untuk melakukan sebagai berikut :
- Tidak posting foto korban musibah,kecelakaan, pemboman
- Tidak sebarkan berita bohong
- Sebarkan berita baik, benar dan nyaman untuk dibaca
- Menjaga kesatuan NKRI baik dalam kata maupun foto di Medsos
Jika aku sebagai Menag, aku juga ingin bekerja sama dengan Kementerian Mendikbud untuk memasukkan digital literacy itu menjadi salah satu pelajaran baik itu pelajaran Teknologi Informasi (TI) dalam kurikulum bukan hanya soal bagaimana mengoperasikan komputer dan fitur digital tapi lebih ideal jika dibekali literacy digital sebagai dasar yang terpenting. Â Juga aku minta kepada sekolah agar diadakan edukasi dengan membuat kegiatan seperti pelatihan Safe Online Space, gunakan media sosial secara bertanggung jawab.
Jika aku sebagai Menag, aku ingin para orangtua di Indonesia yang menggunakan medsos seharusnya punya pemahaman digital literacy terlebih dulu sebelum mereka memberikan gadget/komputer kepada putra-putrinya.  Aku teringat kepada Steve Jobs (founder  dan CEO Apple Inc.)  dan  Bill Gates (founder and CEO  Microsoft)  yang sangat teguh dalam mendidik putra-putrinya.  Mereka baru memberikan gadget saat anaknya sudah  berusia 14 tahun dengan bekal  digital literacy yang sangat dalam.
Jika aku sebagai Menag, aku mohon agar orangtua yang memberikan gadget kepada anak-anaknya juga membekali digital literacy yang sangat minim , kenali ciri berita hoax dengan mengidentifikasi  beberapa hal seperti, kevalidan sumber berita, keotentikan gambar dalam website, kredibilitas penulisnya.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H