Tapi bagaimana dengan kesiapan mental mereka?
Sebenarnya setiap perubahan tentu membawa keraguan apakah setiap pekerja masih dapat dipakai lagi jika harus digantikan dengan tenaga robot. Walaupun di satu sisi, perusahaan makin mendapatkan produktivitas tinggi dengan menggunakan robot, tapi sisi lainnya ada keraguan bagaimana dengan tenaga manusia yang tak punya skill untuk bisa menunjang dalam mengoperasikan robot. Inilah yang jadi perdebatan dalam menyambut revolusi 4.0.
Keraguan itu bukan hanya datang dari para pekerja, tapi para ilmmuwan pun mereka ingin memberikan pandangan apakah dampak dari  kedatangan teknologi digital pada pabrik-pabrik memang memberi janji peningkatan produktivitas.
Dari hasil Studi Boston Consulting Group (September 2015) tentang dampak industri 4.0 terhadap perekonomian Jerman pada 2025, ternyata "hanya" akan terjadi penambahan pertumbuhan ekonomi 1 persen selama lebih dari satu dasawarsa.
Suatu  proyeksi pertumbuhan ekonomi yang ternyata tidak bertumbuh cepat, ditambah dengan penurunan peran manufaktur, masih menyisakan pertanyaan yang banyak, apakah benar nyata dari kehebatan industri 4.0?
Belum lagi, industri 4.0 masih menyisakan sisi gelapnya, yakni dampak negatif terhadap penciptaan lapangan pekerjaan. Itu juga yang dimunculkan majalah ekonomi ternama, The Economist (6/4/2018), yang prihatin bahwa era kecerdasan buatan menyebabkan hilangnya privasi seseorang lantaran persebaran data digital secara mudah. Tiada tempat lagi bagi data untuk disembunyikan.
Satu hal sudah pasti bahwa industri 4.0 sudah datang dan kita tidak mungkin ditolak ataupun dihindarinya. Proses ini akan terus berjalan dan kita harus mati-matian menepis dampak negatifnya. Tak ada lagi yang bisa menghentikannya. Lalu, bagaimana nasib Indonesia dan para tetangga kawasan?
Bagaimana di Indonesia?
Modal Indonesia  yang dapat diandalkan adalah jumlah penduduknya yang mencapai 260 juta . Dari sekian banyak penduduk itu ada sekitar 160 juta jumlah penduduk yang berusia produktif yaitu 14-64 tahun. Diharapkan bonus demografi ini jadi berkah tersendiri bagi Indoensia menghadapi revolusi industri.
Namun, bonus demografi yang menguntungkan itu hanya dapat berhasil menghadapi revolusi industri jika penduduknya punya kemampuan pendidikan yang mumpuni dalam dunia digital, satu-satunya syarat agar bonus demografi menjadi nilai positif bagi Indonesia.
Sebaliknya jika penduduk Indonesia tidak punya kemampuan pendidikan mumpuni, maka yang akan terjadi adalah justru kebalikannya, bonus itu jadi ancaman yang menyedihkan: banyak warga yang tak punya pekerjaan karena semua pekerjaan sudah dikerjakan oleh para robot; sementara produktivitas dari buruh itu tak mampu melawan produktivitas robot yang bekerja jauh lebih efektif. Â Akhirnya, Â banyak orang yang terancam kehilangan pekerjaan.