Mohon tunggu...
Ina Tanaya
Ina Tanaya Mohon Tunggu... Penulis - Ex Banker

Blogger, Lifestyle Blogger https://www.inatanaya.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Impian Anak Cita-cita "Kartini" Zaman Dulu

4 April 2018   15:19 Diperbarui: 4 April 2018   20:01 569
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: nasional.kompas.com

Ketika duduk di bangku SD, tiap kali bulan April datang, terlintaslah suatu perayaan yang akan kami ikuti.  Bagi anak-anak SD, perayaan seremonial sudah terbayang di benak kami semua.  Hampir tiap tahun perayaan Hari Kartini hampir sama,  anak-anak SD diminta untuk mengenakan pakaian daerah sesuai dengan keinginannya. Ada yang ingin memakai pakaian adat sesuai dengan budaya dan provinsinya. Misalnya pakaian Adat Aceh dengan pakaianUlee Balang, pakaian Adat Sumatera Utara yang dikenal dengan suku batak, memakai kain ulos,  pakaian Sumatera Barat disebut dengan pakaian adat Bundo Kanduang, pakaian adat Sumatera Selatan disebut Aesan Geda dan Aesan Pasangko,   Pakaian adat Jawa disebut Kebaya.   

Kesibukan untuk menyiapkan pakaian daerah itu jadi suatu kebiasaan atau seremoni tiap tahunnya.  Namun, saat kami anak-anak hal itu sangat menyenangkan karena kami merasa bahwa hari itu kami menjadi orang Indonesia yang memiliki banyak kekayaan tradisi, budaya dan adat.

Sayangnya, hal itu sebenarnya bukan tujuan awal dari cita-cita Kartini.  Bukan pemakaian pakaian adat  menjadi pemaknaan persamaan hak seorang perempuan karena pakaian hanya suatu lambang dan budaya tetapi bukan suatu persamaan  hak seorang perempuan sebagai warga negara tanpa memandang gender, kedudukannya, profesinya.

Kesadaran itu baru terjawab setelah melihat fakta di lapangan, masih ada ketimpangan belum adanya persamaan hak bagi perempuan.  Beberapa profesi yang saya dengar sejak kecil,  hanya ditujukan untuk kamu lelaki.  Contohnya  insinyur elektro, mekanik, SMK, dan teknik industri, penerbangan.

Sebenarnya kenapa ada persepsi perbedaan itu?  Saya ingin melawan stereotype gender pada masa itu. Kenapa seorang anak perempuan hanya boleh bekerja di bidang yang seolah-olah bersifat kewanitaan saja . Padahal cita-cita Kartini bukan demikian. Perempuan punya cara berpikir dan bertindak sama dengan lelaki, oleh karena itu perempuan harus punya hak yang sama dengan lelaki.

Saat itu hanya satu cita-cita yang yang didambakan yaitu  ahli gizi . Pengamatan seorang anak yang sangat sederhana karena banyak teman-teman sebaya sejak balita yang sulit makan. Orangtua tak mengetahui cara mengatasi kesulitan itu , hanya menyerahkan saja pada lingkungan dan mengajak semua teman-teman anak berkumpul dan makan bersama . Orangtua berpikir hanya dengan makan sama-sama pasti makannya banyak. Padahal makan banyak tanpa nutrisi yang baik itu juga tak bermanfaat.

Suatu impian yang tak mungkin terjadi,  tapi keinginan itu membuat seorang perempuan punya kesempatan agar anak yang dilahirkan untuk generasi selanjutnya bukan hanya sama haknya, tapi juga punya kesempatan sama dalam profesi, pekerjaan maupun karir .

Sedikit intermezo di hari menjelang Kartini agar kita tidak hanya terpaku dengan seremonial saja tapi juga melakukanpersamaan hak dengan misi khusus.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun