Mohon tunggu...
Ina Tanaya
Ina Tanaya Mohon Tunggu... Penulis - Ex Banker

Blogger, Lifestyle Blogger https://www.inatanaya.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Lawan Radikalisme dengan Lemah-lembut

15 Februari 2018   16:24 Diperbarui: 15 Februari 2018   16:34 460
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebenarnya saya tak suka topik yang berjudul "Radikalisme".  Setiap kali membicarakan radikal, bulu bergidik dan nalar saya seperti tidak pernah mengerti dan tidak memahami kenapa orang bisa memiliki paham radikal.

Namun, saya terketuk mengapa kekerasan atau radikalisme itu justru dilakukan oleh anak-anak muda?

Bagaimana paham Radikal bisa merusak Pemuda/i?

Sampai saat ini, kelompok radikal terus mengembangkan diri dengan memperluas jaringan. Indonesia yang mengalami puncak bonus demografi pada tahun 2030 rawan disusupi oleh paham-paham radikal. Jika tidak diantisipasi dan dikelola dengan baik maka hal ini jadi bumerang bagi Indonesia.

Adalah Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Komisari Jenderal Suhardi Alius mengatakan  bahwa pengangguran dan kesenjangan sosial jadi masalah para anak muda ini disalah gunakan oleh aliran radikal. Sebagai contoh dikatakan ketika BNPT membuka lowongan sebanyak 60 calon pegawai sipil (CPNS) ternyata yang melamar sebanyak 15.000 orang. Bayangkan betapa sulitnya mencari pekerjaan saat ini. Banyak anak yang drop out, banyak yang tidak dapat melanjutkan sekolah.

Siapa  Suliono?

Orangtua Suliono,  Susiah (54 tahun)  dan Mistaji (57 tahun)  terkejut dan kaget mendengar dari tetangganya bahwa anaknya melakukan aksi kekerasan di gereja St. Lidwina.

Tak pernah terpikirkan oleh kedua orangtua itu bahwa Suliono dapat melakukan kekerasan seperti itu.  Teringat oleh Mistaji bahwa Suliono pada waktu masih kecil sifat anaknya itu pendiam dan anak yang baik, melanjutkan SMP 1 Pesanggaran, lalu masuk ke Pondok Pesantren Ibnu Sina Desa Setail Kecamatan Genteng asuhan KH. Maskur Ali.  Namun, dia tak kerasan, jadi dia berangkat ke Morowali, Sulawesi,  tinggal bersama kakaknya.

Di tempat baru tak kerasan juga, Akhirnya dia pergi ke Palu dimana pengaruh ekstrim itu terjadi.   Ayahnya melihat perubahan ekstrim dari Suliono saat ibadah, tapi dia tak melihat hal-hal ekstrim yang lainnya.  Ayahnya berusaha untuk menyadarkan agar ia kembali kepada jalan yang benar. Sayangnya, nasehat ayahnya tidak dianggap karena faham itu sudah masuk ke akar batinnya.

Kekerasan hatinya itu karena otaknya sudah "dibrainstorm" oleh paham radikal.  "Dari hasil pendalaman sementara, Suliono pernah berada di kantong-kantong teroris, seperti Sulawesi Tengah, Poso, dan Magelang. Ada indikasi kuat yang bersangkutan ini terkena paham radikal yang prokekerasan," ujar Tito.

Tito mengatakan, Suliono pernah membuat paspor untuk berangkat ke Suriah. Namun, ia tidak berhasil berangkat ke sana.

Bagaimana mengubah seorang radikal?

Apabila Suliono terbukti sebagai teroris tentunya ada hukuman yang menunggu . Tetapi saya ingin melihat dari sisi psikologis dari seorang yang punya latar belakang baik, berubah jadi teroris, apakah mungkin berubah kembali menjadi orang "baik".

Saya sangat terhenyak melihat  Prof. Buya Syafii Maarif datang menjenguk Suliono di RS Bayangkara selama 1 jam.  Sebaik-baiknya seorang teroris, yang belum dihukum, mengapa beliau mau  datang ke sana.  Apa kira-kira isi percakapan seorang Buya dengan Suliono selama satu jam?  

Memang tidak jelas apa yang dipercakapkan karena tidak ada seorang wartawan pun yang meliput ke dalam. Namun, dari segi psikologis, saya dapat memastikan bahwa terjadi dialog intensif dan mendalam antara Buya dan Suliono apa penyebab dia berani melakukan hal itu. Bagaimana kedalaman paham radikal itu sudah merasuk ke dalam kalbunya. Dari pendekatan cinta kasih yang dilakukan Buya karena saya selalu mendengar kata-katanya mengalir dengan sejuk dan tenang membuat orang yang mendengar jadi meleleh.  Pasti ada suatu pendekatan psikologis dan sedikitnya perubahan dari Suliono dari nasehat-nasehat yang diberikan oleh Buya.

Kelembutan mengubah kekerasan:

Kesalahan dalam perbuatan tentunya dan selayaknya mendapat hukuman sesuai dengan perbuatannya. Namun, untuk hati yang telah membeku dengan kekerasan, selayaknya  dapat diobati dengan kelembutan hati yang mengubahkan.

Buya bukan seorang psikolog tetapi seorang ulama dan pendidik.  Namun, kepiawaian untuk menjadi salah seorang ahli dalam agama maupun sosial memastikan untuk bisa mengubah seorang yang tadinya radikal menjadi menghentikan radikalnya.

Dari kacamata psikologi, seorang teroris itu bagaikan sebuah penyakit yang harus dianalisa secara mendalam baik itu dari segi psikolog sosial, klinis dan agama.

Psikolog sosial dan klinis tentu dapat menganalisa lebih jauh apa kelainan jiwa yang membuat seorang Suliono melenceng dari seorang dari keluarga yang baik, mudah sekali berubah di lingkungan yang keras.  Adakah suatu kehausan cinta dari keluarga yang tidak didapatkannya, adakah kekurangan materi dan kekecewaan yang dipendamnya selama ini sehingga dia ingin mendapatkan kompensasi ke tempat lain, dan akhirnya terjerumus . Adakah dia sedang mencari identitas pribadi nya yang belum kuat dan kokoh? Berbagai pertanyaan ini sangat menentukan dan membawa kesimpulan bagaimana Suliono sesungguhnya.

Semoga  dengan pendekatan psikologis sosial, klinis dan agama, Suliono dapat mempertanggung jawabkan perbuataan dan terutama mengubah hatinya sehingga pertobatan itu tak perlu lama lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun