Tiga Pandangan utama Kompasianer tentang berita Hoax  telah dibicarakan atau diulas dalam suatu artikel berjudul "Kala Berita Hoax Sulit untuk Dibendung di Dunia Maya".  Tiga pandangan yang berbasiskan , "Divide et Impera ala Sosial Media",  "Hoax, Media Sosial dan Hakikat Sebuah Kebenaran" dan terakhir, "Tumbal dari Penyebaran Isu Hoax, Efek lembahnya UU ITE".
Masih ada satu pandangan yang ingin saya kemukakan untuk menambah kajian kenapa hoax sulit dibendung di dunia maya.
Menurut saya, Â pengguna internet di Indonesia yang jumlahnya cukup besar, 112 juta, mencapai peringkat ke-6 di dunia dari jumlah penduduk Indonesia 250 juta, Â masih belum dibekali tentang literasi tentang apa itu hoax atau itu fake.
Ketika mereka memiliki gadget, Â apa yang mereka lakukan adalah dengan mengakses atau browsing berita-berita yang belum ada kepastiannya. Â Penduduk Indonesia yang setiap hari dapat menghabiskan waktu berselancar di dunia maya menggunakan komputer selama empat jam 42 menit, browsing di telepon genggam selama tiga jam 33 menit dan menghabiskan waktu di sosial media selama dua jam 51 menit.
Mereka yang belum dibekali pengetahuan tentang hoax itu dengan mudah menjadi penyebar atau penerima hoax /fake tanpa mengetahui kesalahannya.  Hoax sejatinya dimengerti atau dipahami supaya  tidak menjadi pelaku dari pengedar "hoax itu sendiri".
Untuk memahami dan mengerti, kita perlu pengetahuan dasar bagaimana berita itu disebut sebagai berita hoax.
Berikut adalah tips dasarnya:
- Memeriksa ulang judul berita provokatif. Judul berita kerap dipakai sebagai jendela untuk mengintip keseluruhan tulisan. Namun tak jarang hal itu dimanfaatkan para penyebar berita palsu dengan mendistorsi judul yang provokatif meski sama sekali tak relevan dengan isi berita. Disarankan agar pembaca untuk mengecek sumber berita lain agar informasi yang diterima bukan hasil rekayasa.
- Meneliti alamat situs web. Dewan Pers memiliki data lengkap semua institusi pers resmi di Indonesia. Data yang terhimpun itu bisa digunakan oleh pembaca sebagai referensi apakah sumber berita yang dibaca telah memenuhi kaidah jurnalistik sesuai aturan Dewan Pers. Cukup mengetik nama situs berita di kolom data pers, pembaca dapat mengetahui status media yang mereka konsumsi berdasarkan standar Dewan Pers.
- Membedakan fakta dengan opini. Â Pembaca dianjurkan untuk tidak menelan mentah-mentah ucapan seorang narasumber yang dikutip oleh situs berita. Sering kali hal itu luput dari pembaca karena pembaca terlalu cepat mengambil kesimpulan. Semakin banyak fakta yang termuat di sebuah berita, makin banyak kredibel berita itu.
- Cermat membaca korelasi foto dan caption yang provokatif. Persebaran foto provokatif dengan imbuhan tulisan yang telah disunting. Cara termudah menguji keabsahan informasi dari foto yang diterima, pembaca bisa membuka Google Images di aplikasi penjelajah lalu menyeret foto yang dimaksud ke kolom pencarian
Di negara-negara industri seperti German, dan Inggris, Pemerintah telah memberikan literasi tentang "fake" atau berita palsu sedini mungkin kepada murid-muridnya atau anak-anak. Anak-anak inilah menjadi bagian yang penting untuk belajar tentang berita yang benar dan tidak benar.Â
Setidaknya mereka punya wawasan bagaimana membedakan fakta dengan opini yang dibentuk oleh narasubmer yang belum tentu bertanggung jawab atas beritanya.
Kepada anak-anak inilah, tugas guru dan pemerintah untuk memberikan kebenaran fakta. Â Anak-anak diberikan pemahaman sebagai berikut:
Salah seorang guru , Scott Bedley, mengajar kepada murid-muridnya untuk menggunakan 7 check-list  saat mereka membaca artikel di Media sosial/internet:
- Apakah kamu mengetahui sumber dari berita? Â Apakah sumbernya berasal dari berita yang terkemuka sebagai contoh National Geographic, Disocvery?
- Bagaimana kamu membandingkan berita itu dengan apa yang telah kamu ketahui?
- Apakah informasi atau berita itu masuk akal ? Â Apakah kamu memahami informasi itu?
- Apakah kamu sudah memverifikasi berita itu dengan tiga atau sumber-sumber yang lainnya yang dapat dipercaya/
- Apakah para ahli dalam bidang itu telah dihubungi untuk memberikan informasi yang otentik?
- Apakah informasi itu akurat?
- Apakah informasi itu hanya sebuah copy paste
Dengan bekal literasi tentang "fake" sejak kecil,  maka orang dewasa secara otomatis selalu berhati-hati dan waspada dalam membaca berita apa pun. Berita tidak ditelan begitu saja, tetapi diolah dan dipahami dulu . Setelah paham , jika berita itu benar, maka mereka akan menyatakan opininya tanpa menyebarkan beritanya.  Opini pribadi ini lebih baik disampaikan melalui netizen journalis seperti Kompasiana walaupun sifatnya opini  tapi  disajikan pun berdasarkan fakta bukan semata-mata opini subjektif.
Semoga pandangan ini bermanfaat.
Sumber berita:
Lima Cara Antisipasi Berita Hoax di Media Sosial
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H