Dalam beberapa minggu ini kita semua disajikan berita yang cukup menghebohkan,  banyak orang yang "tertipu" dengan tawaran "Umroh murah"  oleh PT. First Travel. Bukan hanya 1  Biro  Umroh yang tidak menjalankan kontraknya kepada kustomer, tetapi YLKI menemukan  6 (enam) biro umroh yang paling banyak diadukan ke YLKI, bermunculanlah pengaduan serupa dari biro umroh lain, yang tak kalah banyaknya. Ini menunjukkan calon umroh yang bermasalah seperti gunung es.
Tercatat, per 06 Juni, YLKI menerima 6.778 pengaduan calon jamaah umroh dari 6 (enam) biro umroh, yaitu:
- First Travel 3.825 pengaduan;
- Hannien Tour 1.821 pengaduan;
- Kafilah Rindu Ka'bah 954 pengaduan;
- Komunitas Jalan Lurus 122 pengaduan;
- Basmalah Tour and Travel 33 pengaduan
- Zabran dan Mila Tour 24 pengadua
Penawaran ini tentunya dengan adanya ikatan kontrak antara kustomer dan perusahaan yang menjual jasanya, dalam hal ini produk yang ditawarkan adalah "Umroh".
Ternyata janji produk yang seharusnya diterima atau diberikan kepada konsumer tidak pernah ditepati oleh perusahaan. Â
Sebagai seorang konsumen sekarang ini kita dituntut untuk memiliki  kemampuan untuk memverifikasi atau memvalidasi apa yang ditawarkan itu secara nalar masuk akal atau tidak.   Jika tidak masuk akal maka selayaknya  kita pun sebagai calon pembeli atau konsumen selayaknya tidak mengambil atau membeli produk yang ditawarkan.
Untuk membeli suatu barang terutama barang yang "intangible" Â baik itu berupa jasa atau service, konsumen lebih sulit dalam menilai. Â Mereka harus mampu untuk menilai apakah barang atau produk yang ditawarkan itu benar-benar sesuai dengan apa yang ditawarkan.
Selain itu kita butuh beberapa kajian seperti berikut ini:
Apakah perusahaan itu memiliki surat izin dalam usaha yang dijalankan. Â Jika perusahaan memiliki izin pun kita tetap harus berhati-hati untuk melihat data keuangan perusahaan. Â Secara external memang kita tidak bisa melihat data keuangan, tetapi jika perusahaan itu sudah "Go Public" seharusnya ada data keuangan yang dipublish di koran atau media cetak. Sehingga publik yang buta dengan keuangan pun masih dapat melihat secara kasat mata apakah keuangan perusahaan sehat atau tidak.
Namun, untuk perusahaan yang belum go publik, kita sebagai kustomer tidak dapat melihat data keuangan perusahaan.  Jika dapat dilihat pun, banyak kepentingan dari pihak perusahaan untuk memaniulasi  data keuanganan agar terlihat datanya bagus untuk dipercayai oleh calon kustomer.
Lalu, apa dong yang dapat dijadikan patokan/parameter  untuk menilai apakah sebuah perusahaan itu kredibel atau tidak.  Sebaiknya dari Pemerintah yang mengeluarkan izin untuk suatu usaha, juga melakukan pengawasan dari usaha itu sendiri. Apakah usaha itu dijalankan secara sehat atau tidak? Setiap tahun ada laporan keuangan maupun data yang dilaporkan, berapa kustomer yang masuk sebagai "incoming funds"  dan berapa yang dana atau cost yang dikeluarkan.  Jika tidak seimbang, dimana dana yang tidak dikeluarkan untuk kebutuhan kustomer maka izin itu perlu dipertanyakan, dibekukan.Â
Pemerintah perlu memberikan list dari biro umroh yang kredibel yang dapat dijadikan referensi bagi masyarakat untuk partisipasi atau ikut dalam umroh.
Selayaknya, kita sebagai kustomer memang tidak mudah dipengaruhi oleh teman/kerabat yang telah menggunakan jasa dari sebuah perusahaan. Â Percaya kepada perusahaan yang kredibel itu harus dari pengalaman kita sendiri bukan dari kata orang lain.
Kesulitan bagi konsumen di sini adalah tidak adanya jaminan bahwa apa yang dilanggar oleh pihak penjual atau perusahaan itu dapat dijamin bahwa uangnya akan kembali. Semuanya serba tidak jelas karena panjangannya proses perdata yang akan dibawa ke pengadilan.
Oleh karena itu sebagai konsumen diminta tetap bijak atau "smart" dalam membeli sebuah produk baik itu produk makanan, konsumer atau jasa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H