Tatanan sosial masyarakat yang makin majemuk di Banyuwangi dengan pemeluk islam yang sangat kuat menolak adanya penari lelaki Gandrung mengenakan pakaian perempuan dengan dandanan perempuan menurut agama Islam tidak sesuai dengan ajarannya (tidak menerima bentuk transvestisme). Â Oleh karena itu terjadilah pergeseran nilai dan bentuk tarian Gandrung , penarinya tidak lagi dilakukan oleh pria atau lelaki tetapi dilakukan oleh perempuan. Â
Beralihlah perubahan pemain /penari Gandrung dari seorang lelaki menjadi seorang perempuan.  Padahal sebelum terjadi pergeseran gender, untuk menjadi pemain atau penari Gandrung itu perlu suatu ritual yang sangat panjang sekali.   Sebelum pemain naik panggung, pemain harus puasa selama 1-2 hari  , mengunjungi  makam .  Prosesi magis pun dilakukan oleh setipa penari sebelum pertunjukan. Penari harus mepersiapkan diri dengan ritual khusus agar tubunh yang langsing dan sintal itu akan terlihat menarik pada saat mereka menari.  Ketertarikan kepada tubuh yang sangat mereka andalkan karena mereka mengganggap bahwa kesuksesan dari menjadi taruhannya. Semua anya diangkap penting karena mereka ingin menampilkan penari yang dapat memukau penonton. Bahkan sejaian yang sangat lengkap seperti kelapa , pisang, beras, gula, ayam dan alat kinang. Sesajian diletakan di kamar penari dan tidak jauh dari penabuh gong.Mahkota atau kuluk memiliki peran penting agar pementasi dapat berlangsung dengan baik. Oleh karena itu kuluh tidak boleh terlepas dalam setiap pagelaran.
Sayangnya, panjangnya prosesi dan ritual magis yang dijadikan suatu bagian dari proses pertunjukkan, tidak dapat diterima lagi oleh masyarakat karena penari perempuan yang erotis itu menjadi simbol dari suatu kelemahan perempuan dalam mengambil keuntungan dari erotisme. Â Kemampuan magis yang sangat diandalkan itu telah sirna karena masyarkat memiliki stigma negatif terhadap penari perempuan Gandrung yang sering dianggap sebagai penari yang mengambil keuntungan erotis untuk lelaki dan beberapa diantaranya dianggap sebagai pelacur atau selir dari beberapa pejabat.
Globalisasi ikut berperan dalam pergeseran tarian Gandrung
Setelah mengalami penolakan dari masyarakat,  para penari tradisional Tradisionil  Gandrung yang turun temurun itu menjadi terdesak dengan adanya globalisasi dan modernisasi.  Ketika masyarakat dan stakeholder ingin mengubah profil kesenian tradisional itu menjadi kesenian yang dapat diterima dengan keberagaman gender. Meskipun pemainnya lelaki, tetapi mereka juga punya peran penting sebagai pemain.
Sayangnya, hal ini belum bisa dilaksanakan.   Pola kesenian nasional yang namanya masih dengan nama lama "Gandrung" .  Perbedaannya hanya  polarisasi dari kesenian yang lebih modern dengan sentuhan yang melekat pada keinginan wisatawan /penonton. Â
Dimulailah babak baru , sejak tahun 2000 seniman dan budayawan yang tergabung dalam Dewan Kesenian Blambangan mengubah pola kesenian Gandrung menjadi kesenian komunitas . Â Mereka menggali semua nilai historis dan nilai keberagaman masyarakat Banyuwangi saat ini menjadi tarian kolosal dengan menggunakan nama yang lama Gandrung. Â Kesenian gandrung tak berbeda dengan kesenian-kesenian Nusantara yang menampilkan sebuah pertunjukan dalam bentuk tari dan nyanyian. Â Kemudian bermetaforsis identitas komunitas Osing, di Banyuwangi.
Secara historis, Komunitas Osing, mempunyai pengalaman sejarah unik, khususnya dalam pergulatan politik kerajaan Mataram Islam (Jawa) dan Buleleng (Bali). Masyarakat Osing selalu menjadi objek penaklukan. Baik untuk kepentingan perluasan wilayah. Mobilisasi massa. Kekuatan ekonomi, maupun berebut pengaruh kultural. Pengalaman-pengalaman historis inilah yang membentuk sistem kebudayaan kolektif masyarakat Osing sampai saat ini
Pertunjukan dibagi dalam tiga sesi . Sesi yang pertama disebut dengan jejer  berlangsung antara 45-60 menit biasanya sesi ini dibuka dengan tarian pembuka bagi tamu dan shohibul hajat.  Setelah itu diikut dengan pakluncing yang artinya pertunjukkan dimulai. Setelah 20 menit berlangsung, maka  musik pun mengalun sendu dan penari mulai melantunkan lagu Padha Nonton. Lagu Padha Nonton merupakan puisi yang menggambarkan perjuangan untuk menggugah dan membangkitkan semangat rakyat Blambangan (Banyuwangi) terhadap segala bentuk penjajahan.
Sesi yang kedua disebut Paju. Paju berarti arena terbuka bagi penonton untuk menari secara berpasangan dengan bernyanyi bersama-sama. Â Setelah itu diikut dengan seblang-seblang.
Sesi ketiga adalah seblang-sebelang yang merupakan narasi dan puncak acara dari kesenian Gandrung.