Saya sudah berlangganan Kompas sejak saya kuliah sampai saat ini. Jika dihitung berapa lama saya sudah menjadi pelanggan Kompas, hampir  40 tahun.  Waktu yang sangat lama untuk menjadi pelanggan setia.
Alasannya mengapa saya mampu bertahan untuk jadi pelanggan setia adalah berita-berita yang dituangkan oleh wartawan kompas  itu bervariasi bukan hanya headline saja tapi dari ekonomi, metropolitan,luar negeri, teknologi,gaya hidup sampai sekarang ditambahkan fitur-fitur menarik seperti kuliner, film, hobi,sampai kepada yang paling saya sukai yaitu rubrik psikologi.  Membaca Kompas bagaikan membaca  dunia dengan wawasan yang luas dari berbagai macam sudut.  Gaya bahasa dan isinya itu sangat komprehensif dan detail sekali.  Penulis atau wartawannya memang saya akui sangat menguasai bahan yang dilaporkan. Reportase yang tidak pernah basi dan penuh dengan wawasan yang sangat luas sekali.
Pemikiran saya, sudah jadi langganan sekian puluh tahun, pastinya saya sudah  cukup mengenal seluk beluk gaya bahasa,pokok bahasan dan gaya bahasa yang disukai pembaca dari Kompas.Â
Berniat memberanikan diri alias percaya diri untuk mengirimkan opini di Kompas maka  saya mengumpulkan berbagai referensi bacaan baik itu dari buku, dari internet maupun beberapa media.  Yakin bahwa  referensi itu cukup untuk dituangkan dalam sebuah tulisan yang ngga cukup berat . Topik yang saya pilih hanya  Opini .Â
Bekal itu ternyata tidak mencukupi. Â Ketika saya sudah mengirimkan tulisan itu, memang saya tidak banyak berharap. Â Tetapi ketika ada jawaban surat elektronik dari Kompas, saya masih berharap bahwa tulisan itu akan diterima. Â Wah, ternyata realitas harus diakui bahwa tuisan saya belum bisa sesuai dengan kriteria yang diharapkan oleh redaksi.
Saya mencoba untuk kedua kalinya. Sebelum mencoba saya selalu membaca lebih teliti dari penulis yang sudah seringkali muncul di rubrik Opini.  Mereka itu  sangat mumpuni dalam bidangnya.  Apa yang mereka tulis memang sangat dalam bahasannya.  Saya berkilah jika "opini" di media lainnya tidak sedalam ini , cukup dengan pengetahuan yang diketahui oleh penulis dan lebih banyak dari opini penulis yang tidak relevan dengan teori.
Nach, berbekal dengan senjata pamungkas untuk mencoba merubah gaya bahasa dan konten opini, saya kirimkan . Â Setelah lama ditunggu, ternyata penolakan yang kedua pun terjadi. Â Saya sudah kehabisan akal untuk bagaimana cara memperbaikinya.
Dalam keputusasaan itu , saya pikir untuk tidak berniat untuk menulis lagi ke Kompas.  Tapi, suatu hari tepatnya  pada tanggal 17 Juni, 2017 ketika membaca di Kompas di suatu kolom  tertulis  "Lomba Blog"  yang bertemakan tentang  "Serunya Mudik" atau "Tradisi Lebaran di Kampung Halaman".
Berpikir keras untuk menemukan ide.  Saya sudah pernah  menulis tentang Serba Serbi Lebaran  dalam blog saya dengan 10 tulisan . Hanya saya sangat yakin tulisan saya dalam blog itu pasti tidak memenuhi kriteria Kompas.  Saya juga merasa bingung bagaimana menceritakan tentang mudik lebaran sedangkan saya tak mudik.
Dalam kebingunan ini saya mendapat Chat WA dari sepupu saya . Dia sedang mudik ke Jogja dengan keluarganya. Segera saya interview dengan skype untuk mendapatkan bahan cerita. Â Singkatnya, saya pun tulis semua dalam satu tulisan yang berjudul "Serunya Melihat Grebek Syawal 2017 Saat Mudik".
Jika sehari sebelumnya saya mengucapkan Selamat Ulang Tahun kepada Kompas, Â kali ini saya ingin mengucapkan terima kasih atas diterbitkan tulisanku di Kompas pada hari Kamis, 29 Juni 2017.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H