Saya membayangkan jika saya saat ini duduk di kelas VI SD, III SMP Â atau III SMA, maka kondisi belajar dalam menghadapi Ujian Nasional sedang dalam kondisi galau , bingung. Â Muridnya bingung, gurunya bingung apalagi Kepala Sekolahnya.
Berita yang simpang siur tentang adanya Moratorium tentang dihapuskan UN Â minggu yang lalu sedang dalam pembahasan. Â Bahkan dibahas dalam Sidang Kabinet bersama Presiden. Â Â Lalu sampai kapan keputusan dapat diketahui? Â Menurut Pak Menteri Pendidikan moratorium sudah diserahkan kepada Presiden. Â Tinggal menunggu Instruksi Presiden. Â Jadi statusnya dimana?
Dalam keadaan bingung, semangat siswa untuk belajar memang tidak surut. Â Mereka tetap giat mengikuti pembekalan materi dan soal mata pelajaran yang sedianya diujikan secara nasional.Â
Hebatnya mereka itu tak pernah berpikir kenapa mesti belajar materi yang belum tentu diujikan.  Jika ada anak-anak yang sangat kritis pasti hal itu memang patut dipertanyakan. Materi untuk ujian sekolah berbeda dengan materi ujian nasional.  Para guru masih mendesak anak-anak untuk tetap belajar materi ujian nasional.  Meskipun mereka tak  yakin  apakah ujian nasional akan tetap diadakan atau tidak.
Waktu belajar untuk tambahan materi itu cukup besar , setiap hari harus menambahkan 90 menit pelajaran. Â Mereka juga mengulang dan mendapat pelajaran pengayaan . Ada yang merasa tidak pasti ada UN, mereka idak mengadakan bimbingan belajar UN karena ada tambahan biaya jika harus mengadakannya.
Sebenarnya semua stakeholder berharap tidak adanya UN sangat membantu dalam segi waktu maupun biaya, bahkan psikologis dan fisik tidak diperas untuk mati-matian belajar.
 Apa manfaat UN?
Adanya pergantian dari Ebtanas, jadi Ujian Sekolah, lalu Ujian Nasional membuat peta pendidikan di Indonesia itu tidak terindikasi bagus.  Ini terbukti bahwa kompetensi kualitas anak-anak belum masuk dalam standar internasional.  Ada  70% sekolah yang tidak termasuk dalam standar untuk UN.
Tidak adanya peta besar dan roadmap untuk menuju peta besar itu membuat uji coba terus untuk menentukan kualitas standar pendidikan .Â
Parameter dari  Pemerintah untuk menstardinasasi kualitas pendidikan di seluruh pelosok Tanah Air dengan adanya UN.  Tapi kenyataannya, setelah beberapa tahun menggunakan UN, hasil dari UN itu tidak menunjukkan standar pendidikan bertambah baik.  Ada ketimpangan di sana sini, bahkan beberapa kelemahan dalam distribusi dan penyajian materi pun seringkali membuat orangtua, anak jadi was-was ketika UN tiba.
JIK UN dijadikan standar untuk seleksi melanjutkan ke PTN, hal ini tidak benar karena seleksi  ke PTN menggunakan system sendiri, bahkan kewenangan tiap PTN sangat besar dalam melakukan calon mahasiswa baru.  Di tingkat SD-SMA  pun seleksi penerimaan akan berlaku zonasi dan materinya pun sesuai dengan masing-masing sekolah.
Jadi dimana peran UN selama ini? Â Â Semoga pembicaraan serius antara Menteri Pendidikan dengan tim nya benar-benar mengacu kepada kesimpulan yang tidak sekedar tambal sulam dari apa yang sebelumnya akan diuji coba.
Sebelumnya Menteri Pendidikan mengatakan ada 3 opsi yang akan diambil dengan adanya moratorium:
- UN tetap berlaku
- UN tidak berlaku  tetapi masih dievaluasi dan perlu dimodifikasi
- UN tidak berlaku gunakan Ujian Sekolah saja
Apapun keputusan yang akan diambil oleh PEmerintah dalam hal ini Kementrian Pendidikan, sebaiknya tidak melakukan keputusan yang terburu-buru dan akhirnya tidak efektif.
Pendidikan anak bukan untuk dirubah sesuai dengan kebutuhan Pemerintah, tapi sesuai dengan tujuan , visi dan misi dari Pendidikan membahagiakan dan berkualitas tinggi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H