Saat dia libur sekolah di musim dingin tiba, dia pulang. Setibanya di rumah, ia mencari ayah dan ibunya. Tak ditemukannya. Ia hanya mendapatkan secarik kertas menyatakan bahwa ayahnya berada di rumah sakit mendampingi ibunya. Bergegaslah ia pergi menuju ke rumah sakit. Dia mendapatkan ibunya dalam kondisi yang sangat buruk. Tubuhnya kurus kering, mukanya pucat dan semua makanan hanya diberikan melalui slang-slang infus.
Tercengang dan terkejut melihat kondisi ibunya. Ayahnya menceritakan semua apa yang terjadi dengan ibunya. Sakit kanker saat Marry berangkat ke college. Ibunya tak memperbolehkan ayahnya untuk menceritakan apa yang terjadi dengan dirinya . Ibunya ingin agar sekolah Marry tidak terhambat dan segera lulus . Dia bisa menangani hidupnya sendiri bersama ayah Marry.
Marry terpekur dan tercenung dalam-dalam. Apa yang dipikirnya selama ini ternyata salah. Dia tak pernah menyangka bahwa ibunya justru sangat mencintainya dengan tidak mau mengganggu sekolahnya.
Kesadarannya itu membuat dirinya untuk minta maaf kepada ibunya yang selama ini dianggapnya mengganggunya. Dengan kelemah lembutan Ibu Marry menerima permintaan maaf itu dan dia tetap minta Marry tetap melanjutkan sekolahnya meskipun ibu masih dalam kondisi lemah.
Akhir liburan selesai, Marry harus kembali ke kampus. Dia meninggalkan ibunya dengan sedih sekali. Tetapi keputusan yang sangat mengubahkan hatinya adalah dia tak lagi mau menyia-siakan waktu untuk tidak berkomunikasi dengan ibunya setiap hari. Walaupun hanya cukup 5-10 menit, waktu bersama ibunya lebih berharga dari semuanya. Itulah perubahan hati dan sikapnya kepada ibunya.