Saya sangat prihatin ada beberapa fenomena atau kasus depresi yang berakhir dengan bunuh diri anak yang terjadi baru-baru ini. Berita mengagetkan dimana usia pra remaja melakukan bunuh diri. Ada pula yang merasa depresi karena orangtuanya melarangnya untuk bermain game. Apa yang ada dalam benak anak-anak ini? Latar belakang bunuh diri yang tak terkuak itu kelihatannya sangat sederhana bahwa anak itu ditolak oleh orangtuanya untuk bermain “smartphone” yang dimilikinya.
Perbedaan persepsi atau pandangan antara orangtua dan anak:
Tiap generasi pasti punya pandangan atau persepsi tentang suatu teknologi dengan kacamata yang berbeda. Contohnya generasi X dimana orang yang lahir di usia pada tahun 60 an. Ketika belajar di masa remajanya tak tersentuh dengan apa namanya “smartphone”. Belajar dan bermain dengan manual , buku-buku yang ada di perpustakaan atau di toko buku. Janjian dengan teman melalui telpon umum atau rumah karena belum ada smartphone. Lalu, mereka akan bermain sepeda, nonton, olahraga dan aktivitas luar lainnya. Sama sekali tak mengenal apa namanya dunia smartphone yang menghubungkan satu sama lainnya. Networknya adalah teman yang telah dikenal atau diketahui sebelumnya dalam jumlah yang terbatas.
Generasi Y punya cara belajar yang sangat berbeda. Semuanya serba internet, dan smartphone. Dimulai dari buku-buku e-book , informasi yang beredar sangat luas di internet sejauh jangkauan jari saja. Mereka memiliki network yang sangat luas, bukan hanya teman sekolah saja, tetapi teman-teman dari sosial media yang hanya dikenalnya melalui media sosial.
Bagaimana kedua generasi itu berinteraksi di rumah?
Jika kedua generasi ,ayah dan ibu tak memiliki pengalaman tentang smartphone di kehidupannya, lalu tiba-tiba cucunya atau anaknya sudah sangat intensif menggunakan “smartphone” sebagai kehidupan keduanya, tentu ada pendekatan yang harus seimbang antara ayah/ibu dengan anak/cucu yang sangat berbeda latar belakang kehidupan masa kecilnya.
Bagian yang sulit adalah jika ayah/ibu tak juga mampu mempunyai kemampuan untuk adaptasi yang cepat untuk perkembangan teknologi. Perkembangan teknologi harus dibarengi dengan pengetahuan yang luas dari ayah /ibu sehingga gap untuk memenuhi kebutuhan anak/cucu itu tidak melebar.
Sayangnya, beberapa orangtua itu memiliki banyak cara parenting yang sangat berbeda. Pola parenting yang diterapkan tergantung dari pola yang dianut oleh orangtua.
Ada orangtua yang menganut pola :
Gaya otoritatif. Orangtua memiliki hubungan emosional yang dekat dengan anak-anaknya. Mereka menerima anak-anaknya sebagai bagian dirinya; sebagai bagian tidak terpisahkan dari perubahan siklus-siklus kehidupannya. Meskipun begitu, mereka juga sanggup menerima perasaan anak-anaknya dan perilaku maupun sifat-sifat anaknya, bahkan integritas anak-anaknya sebagai berbeda, unik dan terpisah dari dirinya. Tidak ada kekuasaan yang diterapkan kepada orangtua, tetapi punya aturan yang jelas.
Gaya otoriter. Sangat menekankan pada status sebagai orangtua. Kekuasaan sepenuhnya berada di tangan orangtua. Bahkan masa depan dan bagaimana realisasi dari potensi-potensi intrinsik anak ditentukan oleh orangtua. Orangtua yang mengambil keputusan, anak tinggal mengikuti
gaya mengabaikan. Orangtua yang memakai gaya ini pertama-tama tidak tahu bahwa dirinya adalah orangtua — yang memiliki peran dan status tertentu. Bahwa mereka adalah kapten kapal di kapal keluarga. Bahwa mereka adalah tempat anak-anak menyandarkan kepercayaannya. Sebaliknya, karena peran yang tidak jelas, karena tugas-tugas yang kabur, maka anak-anak sama sekali tidak dapat mempercayai orangtuanya, dan sekaligus juga tidak sanggup mempercayai diri sendiri
gaya permisif atau serba membolehkan yang kerap dipelesetkan sebagai sikap “modern” oleh orangtua muda, khususnya yang terpapar oleh pengaruh media (psikologi) populer. Salah satu mitos yang mereka percayai adalah “Saya adalah teman dari anak-anak saya,” dan “Kami adalah keluarga demokratis.” Ya, mereka sangat dekat secara emosional dengan anak-anaknya. Bahkan tidak sedikit yang saling memanggil nama. Mereka menghabiskan sumberdaya keluarga (waktu, uang, energi) untuk hal-hal yang menyenangkan, seperti bermain dan berwisata maupun bertualang. Tidak ada yang salah dengan kedekatan emosional semacam itu, kecuali satu hal: orangtua juga lupa bahwa dari sejak anaknya lahir, ia adalah orangtua.
Pola Pendekatan yang saya gunakan adalah pola parenting yang otoritatif. Ada penerimaan perasaan anak, tetapi juga ada peraturan jelas untuk mengatasi gap yang sangat besar dalam hubungan orangtua dan anak dengan latar belakang yang berbeda . Tentunya, setiap orangtua wajib untuk mengatasi gap itu dengan cara yang paling sederhana, praktis dan benar.
Pengalaman saya ketika menghadapi anak yang suka sekali dengan smartphone maupun internetnya, adalah dengan pendekatan sebagai teman . Ketika saya menganggap anak sebagai teman. Dengan tak sungkan, anak akan berbicara apa saja yang dicarinya, disukainya dengan gadget maupun smartphone. Saya tak pernah berkata langsung : “Kamu harus belajar, tidak boleh smartphone!” Tetapi saya mengganggap diri saya sebagai teman yang bisa diajak bicara tentang kesenangannya, kesedihannya dan pola pikirnya tentang smartphone. Saya pernah bertanya kepadanya: “Jika kamu ketinggalan smartphone , rasanya gimana”. Lalu dijawabnya: “Wah itu nyawaku , ngga bisa hidup tanpa dia!” Dengan santai pun saya ingin mengetahui apa bedanya dengan ketinggalan buku yang diwajibkan dibawa ke sekolah pada hari itu. Dia menjawab: “Ya, terpaksa berbohong dah kepada guru, tadi malam sudah disiapkan, tapi dipakai belajar lagi jadi lupa dibawa dan tertinggal”. Saya tak berikan komentar, tapi saya memahami dengan puas bahwa anak saya menganggap bahwa smartphone jauh lebih penting daripada buku dan segalanya.
Pendekatan yang berikutnya adalah dengan mengatakan kepada anak bahwa dunia gadget atau smartphone adalah dunia maya yang tak “real” sedangkan dunia pendidikan dan buku adalah dunia nyata. Saya menjelasakan kepadanya jika kita hidup dalam dunia “real” sebaiknya kita pun tidak menjauhi dunia nyata kecuali kita sudah hidup di alam baka. Dunia nyata adalah dunia dimana kita dapat melakukan apa yang dapat kita lihat, rasakan dan lakukan. Sedangkan dunia maya, ada hal-hal yang tak bisa diterapkan dalam dunia nyata. Memang ada sisi positif dalam dunia “smartphone” dimana koneksi untuk saling terhubung antar manusia maupun pengetahuan sedemikian cepatnya. Tapi saya jelaskan lebih lanjut kepada anak, kita harus berpijak kepada dunia real dimana kita hidup. Dunia “Smartphone” hanya untuk kepentingan pergaulan atau sisi pengetahuan teknologi yang perlu diketahui. Tidak boleh ada keterikatan kepada dunia “smartphone” karena dua hal yang prinsipnya sangat berbeda.
Pendekatan yang terakhir adalah setelah anak sadar bahwa “smartphone” bukan sesuatu yang sangat penting bagi hidupnya sehingga ia tak dapat hidup tanpa smartphone, maka saya ingin dapat masukan dari anak apa pendapatnya setelah mendengar apa yang saya jelaskan.
Jika dia bisa menerima pendapat saya, maka saya pun akan memberikan penguatan bahwa saya tidak anti dengan smartphone karena smartphone pun sangat menolong saya untuk bergabung dengan teman-teman maupun untuk melihat dunia maya dengan perkembangannya. Saya juga senang dengan smartphone karena saya bisa membuat blog atau saya bisa ikut blog . Sedikit banyak kehadiran smartphone juga menolong saya dalam melakukan kegiataan penulisan. Namun, saya tekanan kepada anak, bahwa saya mempunyai batas-batas waktu untuk penggunaannya. Ada porsi yang lebih besar untuk tetap dalam dunia nyata ketimbang dalam dunia smartphone dengan media sosialnya.
Jika dia tak setuju dengan pendapat saya, maka saya pun akan mencari bantuan teman atau seorang yang ahli teknologi tentang apa prinsip penggunaan smartphone. Setelah orang lain yang berbicara, anak saya akan lebih percaya bahwa orang lain pun ternyata punya pendapat yang sama dengan saya. Jadi dia tak berpikir negatif bahwa saya itu terlalu kuno untuk teknologi smartphone. Persamaan persepsi saya dengan ahli teknologi yang lain pun akan mempengaruhi cara berpikir anak saya.
Beruntungnya, anak saya memang menggunakan smartphone khusus untuk komunikasi dengan teman dan bukan untuk sosial media yang tak bermanfaat. Dia bahkan tak menyukai sosial media untuk chat yang tak bermanfaat. Semua sosial media digunakan untuk keperluan kuliah, belajar dan untuk melihat berita yang benar-benar dalam dunia nyata. Dia tak menyukai gosip maupun berita hoax yang disebarkan dari suatu WA kepada WA yang lain.
Berbagi pengalaman ini memang tak segera memecahkan masalah tentang anak yang mudah depresi karena perbedaan gap antara orangtua dan anak. Namun, harapan yang tersirat dalam hati saya adalah jika orangtua mau mengajak anaknya berkomunikasi intensif dan dalam, tentunya pasti ada jalan keluar dalam segala kebuntuan. Anak tidak sampai depresi karena merasa keinginannya seolah-olah tak kesampaian atau karena tidak ada perhatian dari orangtua sama sekali. Orangtua yang hanya mementingkan diri sendiri karena konsepnya “orangtua selalu benar dalam bentuk apa pun”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H