Mohon tunggu...
Ina Tanaya
Ina Tanaya Mohon Tunggu... Penulis - Ex Banker

Blogger, Lifestyle Blogger https://www.inatanaya.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Penyesalan Tak Mengantar Anak di Hari Pertama Sekolah

1 Juli 2016   15:20 Diperbarui: 2 Juli 2016   00:44 339
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jadi orangtua yang berperan ganda, sebagai ibu dan sebagai pekerja, luar biasanya sulitnya. Dilematisnya kadang-kadang harus berhadapan dengan dua kepentingan yang sama kuatnya. Di satu sisi sebagai pekerja, saya dituntut untuk datang disiplin tidak boleh terlambat, ada kartu absen yang tersedia. Jika terlambat absen dengan atau tidak ada alasan pun sampai tiga kalinya akan ada SP 1, artinya surat peringatan dari atasan.  Peraturan ini tak memandang level apa pun, kecuali untuk BIG Boss.  Artinya teladan pun dibuat dari atasan sampai ke anak buah (vertikal).   Jadi tiap kali ingin meminta izin karena alasan anak yang antar ke sekolah atau ke dokter, maka harus dihitung dengan cermat berapa kali saya sudah minta izin.    Paling tidak, saya sudah pernah minta suami untuk bergantian untuk menggantikan saya.  Hanya sayangnya, suami tak sabar jika harus mengantar anak ke dokter karena harus mengantri.  Di sisi lain, saya tahu persis pentingnya mengantar anak pada Hari Pertama Sekolah, apalagi untuk anak pre-school.

Nach sebagai ibu, saya pun pernah mengalami dilematis yang sama dengan halnya sebagai karyawati.  Saya merasa tak nyaman jika saya mengabaikan tugas saya ketika anak saya baru saja masuk pre-school.  Saat itu sebenarnya, ada tante atau pengasuh yang dapat saya percaya.  Berhari-hari memikirkan apakah saya harus minta izin datang terlambat atau lebih baik menyerahkan tugas mengantar anak hari pertama sekolah kepada tante saja.    Menimbang baik dan buruknya sudah ada di tangan saya. Tapi ternyata apa yang dipikirkan itu berbeda dengan apa yang diputuskan.  Ketika saya sudah memikirkan bahwa anak saya ini baru pertama kali sekolah , apalagi dia anak satu-satunya , seharusnya saya antarkan supaya dia siap secara psikologis dengan adaptasi dunia baru , dunia sekolah.    Namun, di detik satu hari sebelum anak sekolah, saya berubah pikiran.  Yang ada dalam pikiran saat itu, “Ach, anak khan masih TK, dia pasti belum memerlukan mamahnya.  Toch masih ada tante yang menemani. Nanti di tingkat berikutnya, saya berjanji di dalam hati untuk mengantarkan anak ke sekolah pada hari pertama”.

Pada hari Pertama Sekolah Pre –School pun tibalah,  semua anak gembira karena diantar oleh ayah atau ibunya.  Sementara anak saya, yang menengok ke kanan kirinya, itu merasa dirinya sangat tidak berarti, dia melihat tak ada fisik ibunya bagaikan ketakutan yang sangat luar biasa.  Dia melihat dunia sekolah yang pertama kalinya, dilihatnya guru, semua orang dewasa dengan sangat rapi dan ikut menyambutnya. Tapi tidak ada kehangatan sebagai seorang guru baru hanya sebatas  formalitas yang ingin diperlihatkan.  Sedangkan tante yang mengantar saat itu, sebatas mengantar di luar kelas. Setelah di dalam kelas , semua orangtua maupun pengantar tak boleh masuk.   Tentu bagi mereka yang diantar oleh orangtuanya, ketika harus masuk kelas ada yang menangis karena ditinggalkan.   Suasana yang tadinya gembira berubah menjadi jerit tangis karena anak-anak itu merasa ada yang “hilang”  dan merasa “tidak nyaman” dengan suasana baru dan berbeda dengan di rumah.

Anak saya melihat suasana sedih itu, ikut hanya dengan kesedihan.  Kesedihannya ditunjukkan dengan takut karena tak melihat tante yang berada di luar kelas. Dia takut ditinggalkan. Tapi tak berani menangis. Jiwanya sangat tergoncang, tapi juga  tak berani menyatakan kesedihannya kepada gurunya.  Yang dilakukannya saat itu hanya diam.  Namun,  dalam diamnya itu ada ketakutan yang luar biasa. Ketakutan itu membuatnya terkencing tanpa sadar.  Saat ibu guru mengetahui hal itu, dia memanggil tante untuk mengantarkan pulang karena tante tak siap untuk membawa baju pengganti.    Saat tante membawa pulang anak saya, terdengar suara guru yang mengatakan kepada tante : “Jangan sampai mengompol lagi. Ini sekolah bukan tempat WC!”      Bagi anak yang bandel perkataan itu tentunya tak ada artinya. Tapi bagi anak saya yang sangat sensitive (seperti ibunya), hal itu sangat membekas.   Sejak itu dia mengatakan kepada saya bahwa dia TIDAK MAU sekolah.

Terpaksa saya harus membujuknya dengan berbagai usaha, mulai dengan mengantarkan sampai memberikan reward jika dia mau sekolah.   Saya sempat terpukul karena kenapa dari awal saya tak melakukannya. Apabila saya lakukan tentu hal ini tak akan terjadi.  Saya katakan  dan peluk anak saya:  “Saya paham kenapa kamu takut.  Ada mamah sekarang. Kamu tak perlu takut”.   Namun, dia sudah sangat cerdas dengan mengatakan:  “Mamah, hanya sebentar, setelah itu mamah pergi ke kantor!”.

Saat itu memang saya tak banyak bicara karena saya belum mendapatkan pengalaman maupun membaca perlunya  dan pentingnya  mengantarkan anak ke sekolah di hari Pertama.  Tiap anak memang berbeda karakternya.  Ada yang mudah menyusaikan diri pada hari Pertama sekolah, tetapi ada juga yang sulit. Namun, menurut penelitian menunjukkan bahwa hari pertama anak sekolah di Pre-School (Paud),  suatu perubahan fase dari seorang anak yang berusia 2-4 tahun tinggal di rumah dengan aman, harus ke luar rumah dan berkumpul dengan orang lain.  Ada sebagian yang merasa sangat “exciting”, tetapi sebagian yang lain merasa “stres” karena perubahan fase kehidupan ini.  Perencanaan dan  pengaturan yang baik ,akan  mengurangi rasa stres yang mungkin akan timbul karena situasi yang berbeda itu.

Inilah panduan bagaimana mempersiapkan diri bersama anak pada hari Anak Pertama masuk sekolah:

Pertama:  Kunjungi Sekolah bersama-sama  Anak sebelum hari Pertama

Ilustrasi: wikihow.com
Ilustrasi: wikihow.com
Beberapa sekolah memberikan izin untuk datang ke sekolah di hari libur .  Melihat gedung, kelas, kantin, dan toilet .  Dengan melihat dan jalan-jalan ke sekolah itu, anak akan merasa lebih nyaman bahwa dia akan berada di sekolah dengan kelas dan sekitarnya yang telah dia ketahui sebelumnya. 

Kedua:  Bertemu dengan Guru Anak

Ilustrasi: wikihow.com
Ilustrasi: wikihow.com
Jika memungkinkan sebelum hari Pertama anak sekolah, bertemu dengan guru pengajar. Berkenalan dan berbincang dengannya supaya anak pun merasa lebih nyaman karena sudah pernah mengenal siapa gurunya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun