pixabay.com
15 tahun yang lalu, ingatanku dan memoriku melayang kembali saat aku ikut seminar tentang “7 Habits of Highly Effective People” (pengarang aslinya adalah Steve R.Covey) yang diadakan oleh kantor di Puncak.
Awalnya, saya berpikir lumayan buat refreshing karena topik seminar sangat ringan sekali. Umumnya, jika kami harus ikut seminar, tugas utama peserta adalah membuat presentasi, group work atau brainstorming. Namun, diluar dugaan apa yang saya pikirkan itu meleset sama sekali.
Seminar ini justru membangkitkan kesadaranku tentang bagaimana menyelerasaskan karakter saya dengan karakter yang akan dituju sesuai dengan nilai yang saya anut. Pendekatan yang efektif untuk mencapai tujuan dengan menyelaraskan diri dengan etika universal yang abadi.
Nach, di sinilah titik balik bagiku. Menjalankan pekerjaan rutin di kantor memang sering lupa kepada tujuan kehidupan kita sebagai orang yang sudah memiliki kemampuan dalam pekerjaan. Bukan hanya lupa saja, tetapi tidak menyelerasakan diri untuk lebih efektif mencapai tujuannya.
Untuk mencapai tujuan hidup saya, sejak mendapat insight inspiratif dari seminar itu, saya mengantongi bagaimana menjadi proaktif, memulai sesuatu dengan pikiran dan mengakhirki dengan pikiran dan prioritas kegiataan. Mendahulukan yang utama, berpikir untuk menang, mengerti orang lain sebelum dimengerti oleh orang lain, sinergi dengan orang-orang yang punya kemampuan tinggi.
Menjelang pensiun dini, sebenarnya belum ada persiapan matang ingin melakukan aktivitas apa karena saya pikir masih dapat bekerja selama tiga tahun lagi. Ternyata kondisi lingkungan kerja dan manajemen berubah karena kondisi keuangan global mempengaruhi kekuangan kantor. Inilah yang membuat saya tak punya plan untuk keadaan yang mendadak berubah.
Proses bermimpi unlimited vs realitanya
Kondisi perubahan itu sebenarnya membuat psikis atau kejiwaan saya agak goncang. Dalam kegoncangan itu saya mulai dengan berandai-andai bahkan bermimpi apa yang dapat saya lakukan dengan apa yang saya miliki untuk meraih yang tidak dimiliki.
Yang saya miliki adalah pengalaman kerja yang lumayan lama, 28 tahun. Andaikata pengalaman itu dapat dijadikan modal untuk buka usaha sebagai trainer. Belum pernah mengadakan training centre, saya mencoba menghubungi teman suami yang sudah punya keahlian dalam bidang training, apalagi dia seorang psikolog. Namun, ternyata tak mudah mengajukan proposal karena dia merasa sudah lebih punya banyak pengalaman, sedangkan saya masih nol.
Mimpi dalam jangka pendek adalah bisnis online dan menulis. Bisnis online, memang tak semudah membalikan tangan, mencoba untuk buat sendiri toko online “Bra” dimana barang-barangnya dengan mudah saya beli dari supplier seorang teman. Tapi ternyata saya belum berpengalaman dengan apa yang saya impikan itu. Survey tidak pernah saya lakukan karena terdesak untuk membuat dulu baru lihat nanti apa hasilnya. Hasilnya memang nol.
Mimpi yang lain adalah menjadi penulis yang mumpuni, paling sedikit seperti yang punya wawasan luas dengan tulisan yang berkualitas kaliber hebat seperti para kompasianer Gapey Sandy, Pepih Nugraha, Iskandarjet. Buat saya ini benar-benar mimpi karena selama hampir setengah abad, tak pernah terpikir untuk jadi penulis. Terus terang, profesi ini tidak saya sukai karena paradigma yang salah. Loh, sekarang kok berubah, zaman digital begini, membuat saya banting stir, mimpi yang serasa tidak mungkin , paling sedikit sekarang sudah ada “green light’. Di Kompasiana saya sudah sering menulis , melatih diri saya yang belum masuk kualifikasi itu, menapak sedikit demi sedikit. Tiap kali ada training yang berbau soal tulisan, saya segera mendaftar. Contohnya ketika ada seminar tentang Nankring iB Blogger Meet Up Jakarta, begitu saya lihat ada topik tentang menulis yang efektif ala Mas Iskandarjet, langsung saya mendaftar. Nanti bulan Mei saya pun sudah mendaftar Acara Ngobrol di Palmerah dengan Nara Sumber Gapey Sandy. Duh, ini yang dinantikan.
Mimpi yang terakhir yang boleh dibilang sebagai “Unlimited” ketika usia sudah tak lagi kuat untuk menulis dan mendapatkan inspirasi tentang tulisan, saya ingin tinggal di suatu tempat yang terpencil, di tanah yang luas, letaknya di daerah wisata , yang sunyi tapi ramai dikunjungi oleh wisatawan pada hari-hari libur. Di sana saya akan menjadi “host” dari tempat tinggal buat pondok yang disewakan.
Loh, tanahnya belum juga dimiliki apalagi bangunannya. Jalan-jalan tempat inspiratifnya duluan, bisnis plan duluan, marketingnya belajar dari website yang sering saya kunjungi airbn. Mengingat prioritas saya adalah menyelesaikan tugas saya untuk anak yang sedang kuliah. Barulah mimpi itu mulai dibenahi dan direspond dengan berbagai pengalaman. Pengalaman yang memang tidak mudah saya lupakan. Menyewakan sebuah tempat “leisure” itu bukan hal yang gampang . Ketika ternyata orang itu bukan orang yang baik, menggunakan tempat tinggal atau yang disewa untuk kebutuhan hobinya yang merusak kamar-kamar yang kami sewakan.
Dengan pengalaman buruk itu pun, saya mulai merencanakan yang dapat menyelaraskan mimpi dengan kebutuhan dan keinginan saya.
"Unlimited dreams for others", kenapa tidak, sekecil apa pun saya masih memiliki mimpi untuk orang lain bu karena hidup itu bukan hanya untuk diri sendiri saja. Beberapa tahun lalu, tetangga saya yang usianya sudah lansia sering meminta bantuan kepada saya . Bu Ina, "tolong dong kirimkan surat ini kepada anak saya . Tapi dikirim dengan email yach. Ini alamat emailnya," kata tetangga saya ibu X seraya menyerahkan secarik kertas. Kertas yang penuh tulisan tangan rapi dan huruf yang miring dan alamat email anaknya tertera di paling bagian bawah. Kenapa ibu ini tak mengirimkan email sendiri? Ini disebabkan dia tak punya internet. Dia gaptek dengan teknologi. Meskipun ketiga anaknya berada di luar negeri, dia sendiri berkomunikasi dengan lewat telpon saja. Tak pernah menulis email. Tentu saya akan tuliskan apa yang diminta oleh Ibu X. Tak berapa lama kemudian jawaban dari anaknya pun muncul. Ketika saya menelponnya, bu X sangat gembira mendengar bahwa ada surat jawaban dari anaknya. Pelajaran yang saya ambil dari bantuan ini adalah, ada beberapa ibu-ibu di sekitar saya yang masih membutuhkan bantuan untuk mengugrade dirinya dalam teknologi. Usia lansia seringkali membuat dirinya takut untuk mencoba teknologi. Padahal jika dia tak menggantungkan diri kepada saya untuk mengirimkan email sendiri, rasanya lebih etis karena saya tak perlu mengetahui apa isi dari email itu.
Dengan pengalaman itu, saya ingin sekali mengajarkan kepada ibu-ibu lansia yang ingin belajar dasar-dasar email atau komputer, saya dapat memberikan waktu untuk briefing singkat itu. Mengugrade diri di usia lansia pun masih diperlukan dan para ibu pun perlu belajar terus sampai kapan pun.
Ide ini pernah saya lakukan dan saya tuangkan dalam lomba blog Indosat dan akhirnya saya menang juara lomba kedua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H