Kebahagiaan di rumah tak dimiliki setiap orang
Saat kita memilikinya, gunakan dan manfaatkan sesuai panggilan jiwa.
Panggilan jiwa yang tulus atas dasar membahagiakan orang lain.
Kebahagiaan orang lain menjadi dasar dari kebahagiaan kita
[caption caption="Sulitkah Bahagia di Rumah?"][/caption]
Seorang sahabatku , sebut saja namanya Mira, berjuang setengah mati untuk melanjutkan ke perguruan tinggi negeri terkemuka di negara ini, ITB. Bidang yang ditekuninya cukup prestisius, arsitektur. Selesai kuliah, dengan gelar yang disandangnya, dia menikah dengan sesama teman kuliah dan bidang yang sama.
Namun, aku merasa kaget dan sama sekali tak menyangka bahwa apa yang telah diraihnya dengan sulit dan susah payah itu tak dimanfaatkan sama sekali. Kupikir setelah menikah dia pasti akan bekerja sesuai dengan apa yang dipelajarinya. Ternyata dugaanku meleset sama sekali. Setelah menikah, dia hanya mengandalkan pekerjaan free lance . Itu pun diterima jika tak menganggu waktunya untuk melayani ibunya yang tiba-tiba kena stroke. Dedikasinya sebagai anak , ditunjukkan dengan penuh kesabaran merawat ibunya dengan kasih sayang. Tanpa perawat, tanpa pembantu, dikerjakan semuanya sendiri. Belum lagi urusan rumah tangga yang dilakukan sendiri tanpa asisten rumah tangga.
Aku sering tak mengerti atau memahami apakah keputusannya itu tidak merugikan dirinya . Hari demi harinya hanya untuk merawat orang sakit tanpa berusaha untuk bekerja di luar. Apabila aku menjadi dirinya, tentu aku ingin bekerja di luar rumah, menghasilkan uang . Uang itu dapat digunakan atau dimanfaatkan untuk berbagai macam keperluan termasuk untuk membiayai ibunya yang sakit dan membayar perawat . Sulitnya aku menerima pilihan yang diambil oleh Mira tanpa alasan yang kuat.
Tapi tidak dengan Mira, ia begitu kuat pendiriannya. Sekali ia bertekad untuk merawat ibunya, tak ada seorang pun yang mampu untuk mencegahnya. Waktu untuk merawat ibunya cukup lama. Tak bia dibayangkan keseharian Mira dengan ibunya itu tentu sangat membosankan dan melelahkan. Akhirnya ibunya meninggal.
Selesai merawat ibunya sampai meninggal dunia, datanglah lagi adik ibunya atau disebut tante Elizabeth yang tidak menikah, terkena osteo dan tidak mampu berjalan. Akhirnya Mira pun, merawat tantenya sendirian . Mulai dengan memandikan, memberi makan, mengganti pakaian yang basah sampai hal-hal yang cukup menjijikkan, mengganti kotoran urine maupun berak. Pelayanan ini berlangsung dari hari ke hari tanpa ada keluhan dari Mira. Setiap bertemu dengannya kebahagiaan hidup nampak dari semburat wajahnya. Dia merasakan kebahagiaan itu karena orang-orang yang dicintainya itu dapat merasakan kasih sayangnya saat mereka membutuhkannya.
Kegelisahanku datang untuk menanyakan apakah dia tak menyesal dengan keputusannya seumur hidup dihabiskan dengan merawat orang sakit. Dia mengatakan dengan tegas dan lugas : “Ina, aku tak pernah menyesal melakukan semua tugasku karena kebahagiaan orang-orang yang kucintai itu melebihi dari kebahagiaanku sendiri. Apabila aku bisa mendedikasikan waktuku untuk kebutuhan mereka, itulah kebahagiaan sejati yang aku miliki. Tak bisa dibeli dengan apa pun, baik itu pekerjaan maupun uang.”
Aku terhenyak tak bisa berbicara apa pun. Aku merasa bahwa bekerja melayani di rumah untuk orang yang dicintai itu sebenarnya bagian dari suatu proses perjalanan hidup sahabatku. Dia mengerjakan pelayanan itu dengan segenap hati, dengan cinta . Itulah yang membuat kebahagiaan sejati terlihat dari sikap dan pandangan hidupnya.
Setelah kedua orang itu yang dicintainya meninggal, Mira sahabatku masih terus melakukan perjalanan hidup dengan pelayanan yang lain yaitu merawat cucu tunggalnya. Anaknya adalah seorang dokter umum yang selain bekerja juga sedang melanjutkan studi S2. Untuk menyelesaikan tugas-tugasnya, terpaksa anak Mira itu menitipkan cucunya. 1 minggu anak Mira bekerja di pagi hari, dititipkannya cucu kepada Mira. Sore hari, cucunya dijemput oleh ibunya sepulang dari kerja. Minggu depannya ketika anaknya harus terbang untuk kuliah di Udayana, Bali, dititipkan lagi cucu itu kepada Mira. Lagi-lagi, dedikasi Mira sangat aku junjung tinggi.
Dedikasi untuk kebahagiaan orang yang dicintainya, anaknya demi masa depan yang lebih Sambil mengasuh cucunya aku sering mampir ke rumahnya. Kubawa majalah Nova Edisi Ulang Tahun dengan tema “”Berbagi Cinta Tanpa Jeda”. Kebahagiaan di rumah dipancarkan oleh sahabatku dan kebahagiaan itu tersirat saat membaca"NOVAVERSARY”, sebuah tabloid Nova edisi Ulang Tahun bertemakan ""Berbagi Cinta Tanpa Jeda". Tema yang sangat selaras dengan kehidupan sahabatku, Mira. Begitu melihatnya, sahabatku, Mira itu sangat menyukai. Dilahapnya semua artikel yang ada.
[caption caption="Tabloid Nova Edisi Ulang Tahun"]
28 tahun perjalanan sahabatku melayani orang yang dicntainya, demikian pula dengan Nova yang merayakan ulang tahun ke-28, melayani pembacanya dengan dedikasi yang tinggi untuk kebutuhan pembacanya. Mengorbankan waktu, keinginan diri sendiri demi kebutuhan dan kecintaan kepada pembacanya
Mencintai berarti berani mengorbankan waktu dan kesenangan untuk kepentingan orang yang dicintai, itulah filosofi yang kutemukan pada seseorang Mira , sahabatku. Bahagia di rumah , bahagia hidupnya untuk membagi cinta.
Tulisan ini diikut-sertakan dalam rangka Lomba Nova28 Blog Competition #BahagiaDiRumah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H