Mohon tunggu...
Ina Tanaya
Ina Tanaya Mohon Tunggu... Penulis - Ex Banker

Blogger, Lifestyle Blogger https://www.inatanaya.com/

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

KRL Commuter Line Menembus Kemacetan Kota Jakarta

30 November 2015   17:32 Diperbarui: 17 Desember 2015   17:11 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="dokumen pribadi"][/caption]

Tahun 1982, lalu lintas di Jakarta masih nyaman untuk dilewati dengan mobil. jadi kuberanikan diriku untuk beli mobil . Seorang urban yang memilih transportasi yang paling baik di saat itu. Apalagi saat itu aku harus kuliah lagi setelah pulang dari kantor. Jadi mobil menjadi andalan utama bagiku untuk transportasi dari rumah , ke kantor, ke tempat kuliah dan pulang ke rumah. 

Saya harus berangkat pagi pukul 6 karena untuk menembus ke kantor harus melalui jalur 3 in one di kawasan Sudirman. Perjalanan lancar karena pagi-pagi hanya bersamaan keluarnya dengan anak-anak sekolah. Namun, saat itu jumlah mobil belum separah sekarang ini.

Beberapa tahun kemudian, saya sudah tak mampu lagi naik mobil sendiri. Saya sering masuk rumah sakit dengan penyakit yang sama. Sakit perut kronis.  Dokter tak menemukan apa penyebab sakitnya perut kronis saya. Tapi frekuensinya timbulnya selalu bersamaan dengan pikiran saya yang kalut ketika melihat traffic atau lalu lintas yang macet, baik, pagi, siang maupun malam. Alhasil, saya menganalisa sendiri bahwa saya menderita stres ketika menyetir dengan melihat kondisi macetnya lalu lintas dan saya tidak dapat mengendalikan emosi saya.

Akhirnya, untuk menghindari keluar masuk rumah sakit, dengan keputusan sendiri, saya ikut “pooling car”, artinya bersama-sama dengan teman-teman yang searah ke Sudirman dari kawasan rumah saya, Bintaro. Enak, sich, tinggal duduk, dan kemacetan harus dihadapi oleh supir. Duduk manis dari rumah, dan sampai ke kantor, demikian juga pulangnya.

Namun, beberapa tahun kemudian supir mulai kehilangan pelanggan satu persatu. Dia tak mau lagi menyetir karena merugi. Saya terpaksa mengambil pilihan yang sangat drastis yaitu naik kommuter line AC. Saat itu yang ada hanya dua pilihan commuter line yaitu commuter express AC dan commuter ekonomi non AC.

Wah tentu saja aku memilih yang express AC. Untuk menjangkau ke setasiun, saya  tidak ada masalah karena letaknya cukup strategis, dari rumah hanya sekali saja naik angkot dan lamanya hanya 10 menit. Setelah sampai di setasiun, ternyata orang yang mau naik kereta sudah berjubel. Saat itu setelah beli karcis (belum pakai kartu magnit), saya lalu antri lagi untuk masuk peron. Nach setelah sampai di peron , menunggu kereta yang datangnya dari Serpong.
Begitu kereta dari Serpong datang. Langsung , mata saya menyelinap, waduh, penumpang yang berada di dalam gerbong sangat penuh sekali. Jika menunggu kereta yang selanjutnya, saya takut terlambat. Dan makin siang, justru makin banyak penumpang.

Jadi dengan kondisi penuh sesak, bagaikan “pindang”, saya masuk ke dalam ditengah-tengah himpitan orang yang bergelantungan kanan,kiri, muka depan. Ngga dapat duduk, buat saya tidak apa-apa, tapi rasanya nafas hampir tidak dapat bernafas.

Perjalanan Pondok Ranji-Sudirman, hanya 25 menit, kereta itu langsung stop di setasiun Sudirman. Pada waktu KRL belum transit di Tanah Abang. Lalu saya bisa turun di setasiun Sudirman. Setelah turun dari kereta itu saya dapat langsung naik angkot untuk meneruskan perjalanan. Perjalanan saya dari rumah sampai ke kantor cukup 35 menit saja. Bayangkan jika saya naik mobil sendiri perjalanan saya paling sedikit hampir 1 1/2– 2 jam, belum lagi capenya tenaga dan energi yang dikeluarkan untuk menghadapi kemacetan.

Besok paginya saya menyiasati diri untuk tidak terjebak dalam himpitan dengan datang lebih pagi ke setasiun Pondok Ranji. Dari setasiun Pondok Ranji, saya mengambil kereta yang menuju Rawa Bambu ke arah BSD (berbalik arah). Hanya 10 menit, sampai di Rawa Bambu, lalu, saya menyeberang jalur naik kereta yang menuju ke Tanah Abang. Ternyata, strategi ini berhasil, saya mendapatkan tempat duduk nyaman.

[caption caption="dokumen pribadi"]

[/caption]

Seiring dengan pekembangan zaman, dimana PT. KAI Commuter Jabotabek (KCJ) telah mengganti gerbong yang tidak memadai lagi dan menggantikan kereta Rel Listrik baru buatan Jepang pada tahun 1976 dengan Kereta api Commuter line untuk Jabotabek telah berubah wajah dan pelayanannya.

Kategori pelayanannya mulai menggunakan kartu multi Trip/single trip , tempat duduknya “empuk” dilengkapi dengan AC, peronnya sangat bersih dan tinggal masuk ke dalam dengan menggesekan kartu di gate in , tidak ada lagi antrean panjang untuk masuk peron, untuk perempuan ada gerbong khusus perempuan di bagian belakang, bagi penumpang yang naik kendaraan baik itu naik motor atau mobil ke setasiun, telah disediakan parkir yang aman selama mobil /motor ditinggalkan.

Ada tiga kategori pelayanan untuk Commuter, yaitu Commuter ekonomi non-Ac, Commuter Ek onomi AC dan Commuter Ekspres AC. Sistem terpadu untuk pengoperasian wilayah Jabotabek dengan rute yang sangat jelas yaitu Jakarta – Bogor disebut KRL Pakuan, Jakarta-Tanahabang pp; Jakarta –Bekasi PP, Jakarta – Tangerang PP, Jakarta – Serpong PP. Untuk lingkar luar Jakarta dengan nama KRL Ciliwung dengan rute Manggarai-Tanahbang-Angke-Kemayoran-Pasar Senen-Jatinegara.

Berhubung saya tiap hari naik kereta, lebih mudah bagi saya menggunakan Kartu Multi Trip yang dapat dibeli secara e-money di BRI, BCA, Mandiri, kita perlu menyetor saldo tanpa batas, dengan saldo minimal Rp.7.000. Kartu ini dapat digunakan untuk perjalanan KRL Commuterline di seluruh lintas Jabotabek (berbeda dengan kartu single trip yang setiap hari harus antri lagi untuk membeli karena hanya berlaku untuk sekali perjalanan). Begitu saya masuk gate in kita harus tap in dengan kartunya supaya nanti pada waktu keluar tidak ada kesulitan atau kena denda.

[caption caption="dokumen"]

[/caption]
Suatu kali ketika saya mendapat undangan dari Kompas (bukan Kompasiana) di kantornya.  Pilihan transportasi adalah naik Commuterline. Sambil menikmati pemandangan melihat kemacetan lalu lintas, kereta tetap saja dapat melintas menembus sisi sisi kemacetan. Belum berapa lama duduk, hanya sekitar 20 menit, tibalah saya di setasiun Palmerah. Kok cepat sekali, pikir saya dalam hati.

Timbul dalam pikiran saya, wah nanti turunnya dari kereta pasti saya harus loncat karena pengalaman saya sebelumnya, ada jarak yang cukup jauh dasar dari kereta dengan dasar pijakan di setasiun. Kebayang itu, saya suka takut jatuh. Namun, apa yang terbayang itu ternyata sirna. Dengan mudah sekali, saya turun dari kereta langsung menginjak pinggir peron. Aman. Begitu masuk peron, semuanya kelihatan bersih, dan mudah keluarnya tanpa antri karena penggunaan kartu magnit . Kebersihan Setasiun Palmerah menjadi kekaguman saya, juga pintu masuknya sangat mudah dijangkau.

[caption caption="Tribunnews"]

[/caption]

Hanya sayang ketika suatu hari saya harus mengikuti seminar, saya berangkat dengan naik kereta . Saya mencoba mencari jadwal kereta untuk ke Sudirman. Di website Jadwal kereta api, saya tak menemukan apa yang saya cari. Tak ada jadwal yang muncul di jam yang saya inginkan.

[caption caption="dokumen pribadi"]

[/caption]

Terpaksa saya hanya memperkirakan jam keberangkatan KRL dan berangkat dari rumalh lebil awal. Untungnya, saya hanya menunggu 10-15 menit, kereta api sudah muncul. Pada saat masuk ke gerbong, antisipasi saya akan tiba di setasiun Tanah Abang sekitar 20 menit karena harus transit untuk meneruskan ke Sudirman. Sayangnya, ternyata ada hambatan kereta harus berhenti di setasiun Kebayoran Lama selama 25 menit karena menunggu kereta yang akan masuk.  Suasana hati saya cukup tegang, takut terlambat dan mengejar waktu karena harus transit di Tanah Abang untuk mencapai Setasiun Sudirman.Sesampai di Tanah Abang, terpaksa saya harus berlari untuk meneruskan perjalanan agar tak terlambat.

Rekomendasi yang ingin saya sampaikan kepada PT. KAI Commuter Jabotabek (KCJ) ada signboard dari jadwal kereta api yang akan datang sehingga memudahkan penumpang yang akan naik kereta api jam berapa kereta akan datang dan berangkat. Informasi signboard ini seperti yang dilakukan di bandara.  Memudahkan penumpang untuk melihat informasi dengan signboard daripada harus bertanya kepada bagian informasi.

Secara keseluruhan,  kenyamanan untuk menembus kemacetan lalu lintas di Ibukota adalah dengan memilih transportasi yang terbaik atau best choice for urban transport yaitu  Commuter line,cepat waktunya, mudah untuk menjangkaunya.Apalagi seorang urban yang memerlukan transportasi untuk mendukung kegiatan sehari-hari, pilihan terbaik di saat macet.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun