Mohon tunggu...
Ina Tanaya
Ina Tanaya Mohon Tunggu... Penulis - Ex Banker

Blogger, Lifestyle Blogger https://www.inatanaya.com/

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Kurang Persiapan Hadapi El Nino #MelawanAsap

31 Oktober 2015   16:47 Diperbarui: 31 Oktober 2015   17:53 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kebakaran dan kekeringan sudah melanda di Indonesia. Hampir semua pulau mengalaminya.  Kemarau panjang yang sebelumnya pernah dirasakan. Belum lagi kebakaran yang melanda Sumatera dan Kalimantan.  Penderitaan dan tragedi kemanusian menimpa kita.  Namun, adakah kita perlu mengevaluasi apa yang sebenarnya kita tak pernah mengevaluasi adanya kekeringan dan kebakaran ini.

Sejak tahun 2014 BMKG telah memberikan informasi adanya EL nino yang berkepanjangan pada tahun 2015. Diharapkan dan dihimbau oleh BMKG agar masyarakat mempersiapkan kekeringan yang panjang itu dengan membuat DAS. DAS adalah tempat penampung air hujan. Diharapkan ketika kering air penampungan itu dapat dipakai . Sedia payung sebelum hujan. Tetapi sayangnya, BMKG tidak memprediksi lokasi kebakaran yang sebenarnya letaknya persis di tempat lokasi kering yang sekarang sudah terbakar seperti lahan gambut, gunung.

Sampai akhir bulan Oktober 2015 pun,  kita  semua masih disibukkan dengan berita bara api dan asap yang terus mengepung Sumatera dan Kalimantan. Hampir 3 bulan hal ini sudah terjadi. Hujan pun belum datang di Jawa.
Bagi kita yang berada di Jakarta memang tidak merasakan secara langsung dampak dari kabut asap. Tetapi bagi mereka yang langsung menghadapinya, akan terasa sekali penderitaannya.

Manajemen atau Standard of Procedure dari suatu bencana asap:

Setiap kali api membara dan kabut asap yang tidak sehat menutupi udara sekitar Sumatera dan Kalimatan, maka masyarakat terpaksa mencari tempa untukt evakuasi . Namun, Tempat evakuasi pun belum disiapkan. Bagaimana dan kapan harus datang ke tempat evakuasi juga tidak ada kepastiannya. Pemerintah hanya memberitahukan mereka yang harus dievakuasi adalah setiap warga yang memiliki anak kecil (balita), perempuan hamil dan warga yang memiliki penyakit keturunan, langsung dihimbau untuk evakuasi. Namun, kelihatan di sini sama sekali belum ada SOP kapan dan bagaiman evakuasi diadakan.
Kenyataannya, Linda dan ketiga anaknya yang anaknya telah rewel karena mdnerita ISPA, terpaksa meninggalkan rumah di Palangkaraya demi menyelematakan anaknya.

Beruntung mereka bertemu dengan Aliansi Gerakan Anti Asap (GAAS) Kalteng yang merupakan gabungan dari sejumlah komunitas dan lembaga swadaya memfasilitasi keberangkatan rombongan dari Palangkaraya ke Banjarmasi yang berjarak sekitar 200 kilometer.

Di tempat Rumah Singgah itu para pengungsi harus memenuhi kebutuhan sehari-hari dari hasil sumbangan warga kompleks atau peminjaman alat-alat seperti televisi, kulkas, kipas angin.
Tugas yang seharusnya dilakukan oleh Pemerintah, terpakasa dilakukan oleh warga secara swadaya.

Manajemen atau standard of procedure dari suatu bencana kekeringan:

Penderitaan warga yang rumahnya sudah tak memiliki air bersih, terpaksa harus mencari air bersih yang jaraknya sangat jauh dari rumahnya. Di Gunung Kidul, jaraknya sampai 2-4 km. Itupun mereka harus antri dan hanya bisa mendapat satu atau 2 jerigen air. Jika masih membutuhkan , mereka harus membeli dari orang yang menawarkan air tanah.


Sebenarnya , data informasi dari BMKG itu disampaikan dengan lugas dan tepat kepada masyarakat. Pemerintah memberikan tugas kepada masyarakat untuk tidankdan preventif dan kuratif.

Untuk tindakan preventif, dapat dilakukan dengan budaya panen atau tampung air hujan. Bisa juga dengan sumur resepan, embung atau telaga di setiap daerah. Pembuatan DAS memang sederhana, Konsep tampung, resapkan, alirkan, pelihara. Air hujan ditampung di sebuah tempat atau kolam.

[caption caption="forumdasciliwung.blogspot.com"][/caption]

Untuk tindakan kuratif, dengan mencari sumber mata air di perkampungan, gali sungai kering, telaga, rawa, sumur kering diperbaiki. “Kalau digali, air akan terkumpul dan keluar lagi.”

Jadi, katanya, penerapan teknologi sederhana terkait pengelolaan air hujan melalui budaya gerakan TRAP (tampung, resapkan, alirkan, dan pelihara) harus menjadi gerakan bersama. Pola gerakan, bisa menjadi program jangka panjang, melalui perencanaan dengan koordinasi antarkementerian dan lembaga, hingga peran langsung masyarakat.

Sayang DAS ini belum juga menjadi prioritas untuk mempersiapkan kekeringan. Saat kekeringan tiba, warga gagap bagaimana mengatasinya.   Tidak ada sense of urgency sebelum kekeringan itu tiba.

Diharapkan semua pengalaman pahit ini menjadi pelajaran berharga bagi warga dan masyarakat Indonesia.  Cuaca perlu jadi andalan  dan dasar dari kehidupan kita. Jika kita tak mau belajar tentang cuaca akan sulitlah kehidupan kita selanjutnya.

Jika ingin berkontribusi tentang melawan asap, saya menulis dengan details bagaimana kita dapat melakukannya dengan menjadi pembeli yang bijak dari produk kebutuhan hidup dari palm oil yang berkelanjutanan.  Silahkan klik di sini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun