Di hari yang bahagia itu seluruh keluarga Ani berkumpul di rumahnya. Mereka ada yang datang dari tanah kelahirannya, Ambon maupun yang datang dari sekitar Jakarta. Ibunda Ani, Rukiah berulangtahun ke-70. Ulangtahun Rukiah tidak dirayakan setiap tahun. Kali ini keluarganya sengaja mengadakan perayaan ulangtahunnya karena Rukiah akan berangkat naik haji.
Semua anak-anaknya mengharapkan Rukiah dapat berangkat ke tanah suci dengan kesehatan yang prima, dan kembali ke tanah air menjadi hajah mabrur. Harapan dari semua anak dan menantunya itu tidaklah berlebihan mengingat beberapa tahun menjelang ulangtahunnya Rukiah sering mengeluh tentang uangnya yang sering hilang. Namun, tak seorang anak pun yang menyadari bahwa keluhan itu ada suatu pertanda awal dari suatu penyakit.
Kegembiraan dan keceriaan dari semua anggota keluarga memang menjadi obat pelipur lara buat Rukiah untuk melupakan kesedihan yang sering menderanya kala dia sedang di kamar sendirian.
Keramain keluarga yang datang dirasakannya sebagai kebisingan yang tak pernah dialami sebelumnya. Namun, setiap orang yang datang menyalami dan mencium pipi kanan dan kirinya karena hari ini adalah istimewa baginya. Tangan dan pipi hampir habis dengan ciuman dari seluruh keluarga yang datang silih bergantian. Anak perempuannya ada 3, anak lelakinya 1 dan jumlah cucunya cukup banyak 12 orang.
Tahun sebelumnya dia masih mengenal wajah-wajah dan nama-nama masing anak , menantu dan cucunya. Bahkan dia mampu menanyakan siapa yang belum hadir jika mereka berkumpul bersama.
Tetapi sayang pada pesta ulangtahunnya kali ini meskipun dirayakan cukup meriah . Dihadiri oleh semua sanak bersaudara, dia sepertinya tinggal dengan dunianya sendiri. Dia melihat orang yang datang, tapi tak mengenalinya satu persatu. Ketika mereka menyalaminya, dia bertanya kepada mereka, siapa namanya. Ketika disebutkan nama anak pertamanya, dia mengulang pertanyaan yang sama kepada anak pertamanya.
Tak seorang pun curiga adanya tanda-tanda suatu dementia awal yang menimpa nenek Rukiah. Kemeriahan itu memang membuat semua sanak keluarga lupa bahwa ada perubahan yang terjadi dari nenek Rukiah. Diam dan pasifnya, disangka sebagai hal yang biasa saja . “Ach, mungkin nenek kecapean!” kata anak perempuan keduanya.
Beberapa minggu sebelum keberangkat naik haji, nenek Rukiah berpamitan kepada anaknya Ani untuk jalan-jalan. Nenek Rukiah memang tinggal bersama dengan Ani. Alasan dari anak-anaknya mengapa nenek Rukiah tinggal bersama Ani karena Ani sudah pensiun dan punya waktu untuk menjaga ibunya dengan baik.
Namun, tiba-tiba Ani kaget sekali ketika jam telah menunjukkan pukul 18.00, nenek Rukiah belum juga menunjukkan pulang dari pergi ke rumah temannya. Dicarinya di seluruh bagian rumah. Ani menyuruh Satrio, anak lelakinya untuk mencari di sekitar perumahan tempat tinggal mereka. Juga Lusi anak perempuannya mencoba menelpon satu persatu rumah saudara dan kenalan mereka. Tak seorangpun yang dapat menjawab dimana keberadaan nenek Rukiah.
Hampir tengah malam, belum juga nenek Rukiah ditemukan. Kepanikan mereka makin menjadi-jadi. “Wah kita harus lapor kepada polisi, nenek Rukiah telah hilang!” kata Ani kepada anak-anak dan suaminya.
Ditengah malam yang dingin dan pekat karena tak ada lampu jalan yang menerangi jalan menuju kantor polisi, Ani dan suaminya datang ke kantor polisi. Begitu menginjak kantor polisi, Ani sebenarnya takut untuk melapor karena dia sering mendengar hal-hal yang tak baik tentang perlakukan polisi kepada pelapor. Namun, hatinya merasa tak tentram jika tak melapor, dia takut terlambat terjadi apa-apa dengan ibunya.
Setelah melakukan BAP, polisi mempersilahkan kedua tamunya untuk pulang saja karena hari telah larut malam. Polisi berjanji akan mencoba menyusuri tempat-tempat yang biasanya dikunjungi oleh nenek Rukiah.
Polisi juga menanyakan kepada keluarga, “Siapa yang mendampingi ketika nenek Rukiah ke luar dari rumah?” “Tidak ada,” jawab Ani . “Kenapa tidak didampingi oleh keluarga?” tanya polisi. “Kami mengganggap nenek Rukiah itu sudah hafal jalan pulang ke rumah karena biasanya tanpa pengawalan pun nenek Rukiah dapat pulang ke rumah sendiri”, jawab Ani kepada polisi.
“Ok. Berhubung sudah cukup larut malam, anda berdua pulang dulu ke rumah,” kata polisi itu. Ketika Ani dan suaminya sedang berjalan mendekati rumahnya, Ani melihat sebuah taxi yang berputar-putar. Lalu supir taxi itu ke luar dan menanyakan alamat suatu rumah sambil menunjukkan KTP kecil itu. Terkejut Eni membaca KTP itu. “Ini KTP ibu saya.” “Dimana ibu saya?” tanya Eni selanjutnya. Tiba-tiba muncullah ibu Rukiah dari dalam taxi. Ibu Rukiah hanya diam tanpa emosi dan tak mengetahui bahwa orang di depannya itu adalah anaknya. Langsung Eni memeluknya ibunya sambil mencucurkan airmata keharuan.
“Terima kasih Pak Taxi, bapak sudah mengantarkan ibu saya dengan selamat,” kata bu Eni. “Bagaimana dan dimana Bapak dapat berjumpa dengan ibu saya?” tanyanya lebih lanjut. “Ada seseorang gadis yang menyetop taxi. Dia mengatakan kepada saya agar saya mengantarkan nenek tua ini. Gadis itu tak mengenal nenek. Ketika dijumpainya nenek itu bilang kepadanya bahwa dia mau pulang ke daerah Sarinah. Tetapi setelah sampai Sarinah nenek bilang bahwa rumahnya dekat dengan mesjid di Pulo Mas. Akhirnya saya diminta untuk mengantarkannya. Dalam keadaan bingung karena tanpa alamat sama sekali saya minta KTP bu Rukiah. Jadi akhirnya saya bisa mengantarkan ibu Rukiah itu pulang ke rumah,” kata bapak taxi.
Sejak saat itu, Eni meminta pembantunya untuk mengantarkan kemana pun Ibu Rukiah akan pergi. Tak peduli apakah perginya ke tempat yang dekat atau jauh. Tidak pernah ditinggalkan sendirian. Namun, Eni masih belum menyadari juga bahwa kemunduran dari dementia yang diderita oleh Ibu Rukiah makin memperlihatkan tanda-tanda alzheimer pada tingkat yang moderat.
Ibu Rukiah sering bertanya kepada pembantunya berkali-kali: “Sekarang jam berapa? Apakah saya sudah makan?” Bahkan suatu hari Ibu Rukiah kesal dengan pembantunya yang tak segera menjawab permintaannya. “Nur, dimana kacamataku?” tanyanya dengan keras sekali. Nur, pembantu itu menjawab dari dapur : “Kacamata ibu itu dikalungkan di leher ibu!” Namun, kesulitan untuk mendengar dan menjawab menyebabkan Ibu Rukiah diam seribu bahasa. Ibu Rukiah tak mampu mengerti dan memahami apa yang dijawab oleh Nur. Demikian juga Nur juga tak paham mengapa Bu Rukiah diam dan tidak merespon apa yang dikatakannya. Akhirnya Nur sering berbicara dengan dirinya sendiri: “Wah ibu sepuh sekarang “blank”, katanya”. Kekacauan komunikasi antar Ibu Rukiah dengan pembantu sering terjadi karena Nur tak tahu apa penyakit bu Rukiah. Dikiranya Bu Rukiah memang sengaja bertanya berkali-kali karena pikun.
Eni yang lebih sering meninggalkan bu Rukiah bersama pembantunya, tak juga melihat kejanggalan kemunduran itu. Tak pernah sama sekali Eni membawanya konsultasi kepada dokter maupun ahli medis lain.
Lifestyle Eni pulang dari gaul dengan teman-temanya di cafe, di jogging track , karaoke di rumah teman sambil menghabiskan setiap malam dan malam minggu. Setelah pulang malam hari, barulah dia bertanya kepada Nur, pembantunya, apa yang diperbuat ibu hari ini. Pembantu hanya melaporkan bahwa ibu Rukiah sering pikun sekarang ini .
Ach, Eni pikir itu hal biasa. Tanda kepikunan tak perlu dikhawatirkan. Memang semua orangtua akan mengalami hal seperti itu, katanya dalam hati.
Tapi kemunduran itu berlangsung cepat. Kekagetannya baru disadarinya ketika Ibu Rukiah, mulai tak mengenali dirinya sendiri. Ketika Eni bertanya kepada bu Rukiah: “Ibu benar tetap mau naik haji. Nanti bisa ke sasar ngga bisa pulang ke Indonesia. Di Jakarta aja udah ke sadar apalagi ke Medinah!” katanya.
Ibu Rukiah tak bisa menjawab dengan pertanyaan ini. Bahkan dia berkata kepada Eni: “Loh siapa yang mau pergi ke Mekkah dan Medinah?” Eni agak kesal kepada ibunya: “Katanya ibu pengin ke sana?”. “Tidak!” jawabnya. Ibu itu aneh yach, dulu mengejar saya untuk mendaftarkan pergi naik haji. Sekarang malah menolak. Gimana sich?” tanya Eni.
Bu Rukiah tak menjawab. “Bu, ibu inget ngga siapa yang minta?” tanya Eni. Bu Rukiah bingung, diam seribu bahasa. Dia bahkan tak mengerti dan memahami pertanyaan Eni.
Cerita dari sebuah kehidupan yang nyata di sebuah keluarga:
Terdiamnya ibu Rukiah membuat Eni makin penasaran. Pertanyaan diajukan untuk mengetahui sejauh mana Ibu Rukiah mempermainkan dirinya. “Bu,tinggal bersama siapa?” tanyanya. Diam seribu bahasa, bu Rukiah tak menjawab sama sekali. Mukanya menunjukkan orang yang bingung, tak memahami apa yang ditanyakan.
Akhirnya, Eni membatalkan semua rencana keberangkatan Ibu Rukiah ke Tanah Suci. Setelah itu, dia berkonsultasi dengan salah seorang teman berprofesi dokter. Dikatakan oleh temannya, sebaiknya bu Rukiah dibawa ke dokter ahli syaraf atau dementia atau alzheimer.
Saat diperiksa oleh dokter. Bu Rukiah tak bergeming sedikit pun. Dia tak tahu dengan siapa dia berhadapan. Pertanyaan dokter pun tak dijawabnya sama sekali.
Dokter mengatakan bahwa Bu Rukiah sudah mengidap Alzheimer di tahap moderat. Dijelaskan bahwa kerusakan sel-sel otak mematikan hubungan antar sel tidak lagi terkoneksi, menyebabkan cognitive memburuk. Obat-obatan yang diberikan hanya mampu untuk membantu memperlambat proses alzheimer ke tingkat lanjut. Tidak ada jaminan obat-obatan yang diberikan mampu menyembuhkan karena memagn belum ada obat alzheimer ampuh ditemukan.
Menerima kenyataan ini Eni, tentu sangat sedih. Namun, dia adalah orang yang tak pernah serius untuk menangani penyakit ibunya ini dengan kesungguhan hati. Diserahkan obat-obatan itu kepada pembantu yang tak mengenal dunia kesehatan dan ketrampilan tentang bagaimana penangan pasien alzheimer.
Alhasil, suatu hari Eni dikejutkan pada kenyataan yang sangat menyakitkan. Ibunya yang tak mampu mengenali dirinya dan tak pernah dibersihkan tubuh bagian belakang oleh pembantu. Ditemukan luka-luka yang menganga lebar, dalamnya hampir menusuk ke tulang, di sekitarnya warna hitam kelam menandakan bahwa kulitnya telah makin membusuk akibat luka. Tak ada tanda kesakitan, dari Bu Rukiah. Bu Rukiah harus dioperasi karena luka-luka yang dalam itu disebut decubitus. Decubitus adalah mati jaringan karena jaringan darah ada suatu bagian kulit dirintangi oleh tekanan terus-menerus sebagai akibat dari duduk yang terlalu lama,Eni harus secepatnya membawa Bu Rukiah ke Rumah Sakit. Di sana Bu Rukiah harus diobati bukan hanya decubitus tapi juga alzheimer. Kesadaran memang datangnya terlambat bagi Eni . Tapi saatnya sudah tepat untuk merawat Bu Rukiah sebagai pasien alzheimer dengan tepat dan cinta kasih serta pemahaman medis yang makin dalam tentang penyakit alzheimer.
Dalam rangka menyambut World Alzheimer Day yang diperingati setiap tahun. Tahun ini peringatan itu mengambil tema “No Time To Lose”. Bagi Eni, sudah waktunya untuk mengingkat kewaspadaan atau disebut “awareness” dan bagi semua orang bahwa penyakit Alzheimer dan diagnosa dini Demensia. Peringatan dini difokuskan pada perawatan (care) dengan menitikberatkan peningkatan pengetahuan penyebab penyakit Demensia dan cara menadampingi pasien ODD. Ini sangat penting karena diungkapkan bahwa kurangnya kesadaran dan pemahaman terhadap Demensia Alzheimer mengakibatkan ketidakcukupan sumber daya untuk menghadapi krisis ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H