Tapi kemunduran itu berlangsung cepat. Kekagetannya baru disadarinya ketika Ibu Rukiah, mulai tak mengenali dirinya sendiri. Ketika Eni bertanya kepada bu Rukiah: “Ibu benar tetap mau naik haji. Nanti bisa ke sasar ngga bisa pulang ke Indonesia. Di Jakarta aja udah ke sadar apalagi ke Medinah!” katanya.
Ibu Rukiah tak bisa menjawab dengan pertanyaan ini. Bahkan dia berkata kepada Eni: “Loh siapa yang mau pergi ke Mekkah dan Medinah?” Eni agak kesal kepada ibunya: “Katanya ibu pengin ke sana?”. “Tidak!” jawabnya. Ibu itu aneh yach, dulu mengejar saya untuk mendaftarkan pergi naik haji. Sekarang malah menolak. Gimana sich?” tanya Eni.
Bu Rukiah tak menjawab. “Bu, ibu inget ngga siapa yang minta?” tanya Eni. Bu Rukiah bingung, diam seribu bahasa. Dia bahkan tak mengerti dan memahami pertanyaan Eni.
Cerita dari sebuah kehidupan yang nyata di sebuah keluarga:
Terdiamnya ibu Rukiah membuat Eni makin penasaran. Pertanyaan diajukan untuk mengetahui sejauh mana Ibu Rukiah mempermainkan dirinya. “Bu,tinggal bersama siapa?” tanyanya. Diam seribu bahasa, bu Rukiah tak menjawab sama sekali. Mukanya menunjukkan orang yang bingung, tak memahami apa yang ditanyakan.
Akhirnya, Eni membatalkan semua rencana keberangkatan Ibu Rukiah ke Tanah Suci. Setelah itu, dia berkonsultasi dengan salah seorang teman berprofesi dokter. Dikatakan oleh temannya, sebaiknya bu Rukiah dibawa ke dokter ahli syaraf atau dementia atau alzheimer.
Saat diperiksa oleh dokter. Bu Rukiah tak bergeming sedikit pun. Dia tak tahu dengan siapa dia berhadapan. Pertanyaan dokter pun tak dijawabnya sama sekali.
Dokter mengatakan bahwa Bu Rukiah sudah mengidap Alzheimer di tahap moderat. Dijelaskan bahwa kerusakan sel-sel otak mematikan hubungan antar sel tidak lagi terkoneksi, menyebabkan cognitive memburuk. Obat-obatan yang diberikan hanya mampu untuk membantu memperlambat proses alzheimer ke tingkat lanjut. Tidak ada jaminan obat-obatan yang diberikan mampu menyembuhkan karena memagn belum ada obat alzheimer ampuh ditemukan.
Menerima kenyataan ini Eni, tentu sangat sedih. Namun, dia adalah orang yang tak pernah serius untuk menangani penyakit ibunya ini dengan kesungguhan hati. Diserahkan obat-obatan itu kepada pembantu yang tak mengenal dunia kesehatan dan ketrampilan tentang bagaimana penangan pasien alzheimer.
Alhasil, suatu hari Eni dikejutkan pada kenyataan yang sangat menyakitkan. Ibunya yang tak mampu mengenali dirinya dan tak pernah dibersihkan tubuh bagian belakang oleh pembantu. Ditemukan luka-luka yang menganga lebar, dalamnya hampir menusuk ke tulang, di sekitarnya warna hitam kelam menandakan bahwa kulitnya telah makin membusuk akibat luka. Tak ada tanda kesakitan, dari Bu Rukiah. Bu Rukiah harus dioperasi karena luka-luka yang dalam itu disebut decubitus. Decubitus adalah mati jaringan karena jaringan darah ada suatu bagian kulit dirintangi oleh tekanan terus-menerus sebagai akibat dari duduk yang terlalu lama,Eni harus secepatnya membawa Bu Rukiah ke Rumah Sakit. Di sana Bu Rukiah harus diobati bukan hanya decubitus tapi juga alzheimer. Kesadaran memang datangnya terlambat bagi Eni . Tapi saatnya sudah tepat untuk merawat Bu Rukiah sebagai pasien alzheimer dengan tepat dan cinta kasih serta pemahaman medis yang makin dalam tentang penyakit alzheimer.
Dalam rangka menyambut World Alzheimer Day yang diperingati setiap tahun. Tahun ini peringatan itu mengambil tema “No Time To Lose”. Bagi Eni, sudah waktunya untuk mengingkat kewaspadaan atau disebut “awareness” dan bagi semua orang bahwa penyakit Alzheimer dan diagnosa dini Demensia. Peringatan dini difokuskan pada perawatan (care) dengan menitikberatkan peningkatan pengetahuan penyebab penyakit Demensia dan cara menadampingi pasien ODD. Ini sangat penting karena diungkapkan bahwa kurangnya kesadaran dan pemahaman terhadap Demensia Alzheimer mengakibatkan ketidakcukupan sumber daya untuk menghadapi krisis ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H