Mohon tunggu...
Ina Tanaya
Ina Tanaya Mohon Tunggu... Penulis - Ex Banker

Blogger, Lifestyle Blogger https://www.inatanaya.com/

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Menelantarkan Lima Anak

23 Mei 2015   12:05 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:41 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai orangtua, saya ikut tersentak kaget bagaimana suami istri dengan lima orang anak dapat menelantarkan lima anaknya tanpa merasa bersalah sama sekali. Bukan hanya menelantarkan tapi juga berbuat tidak mendidik dengan memberikan siksaan.

UP dan NS sebagai suami istri telah ditangkap oleh polisi dan sekarang dalam proses penyelidikan apakah keduanya memang waras kejiwaannya atau tidak.  Ada beberapa kondisi kejiwaan UP yang mendesak dijawab.  Suami atau bapak yang berpforesi sebagai dosen tapi berperilaku aneh itu hampir tidak dapat dipercayai dapat melakukan sesuatu yang diluar batas kemanusiaan sebagai orangtua.

Anehnya dalam pemeriksaan UP mengaku bahwa istrinya NS itu adalah titisan Tribhuwana Tunggadwi, Ratu Kerjaaan Majapahit.  Sementara UP sendiri mengaku bahwa dia adalah titiasan Pangeran Sambernyowo dari KEraton Mangkunegaraan,Surakarta.

UP mendapat informasi tentang titisan itu dari bisikan gai yang diterimanya. Bisikan itu diterimanya ketika dia menjalani ritual kejawen yang telah dilakukannya selama 6 bulan terakhir.  Tapi anehnya UP mengonsumsi narkoba jenis sabu untuk menguatkan dirinya dalam menjalani ritual hingga tengah malam.

Demikian juga istrinya sering tak lagi mampu sadar diri untuk merawat dirinya sendiri apa lagi merawat anaknya. Kondisinya memprihatinkan, lebih sering senyum, menangis, dan gugup dibandingkan berbicara.

Sungguh disayangkan bahwa penelantaran itu diketahui sangat terlambat sehingga menimbulkan trauma dari kelima anaknya . Trauma ini akan dibawa oleh si anak-anaknya seumur hidupnya. Hidup dalam trauma ketakutan untuk orangtuanya sendiri.  Seyogyanya orangtua yang mengasihi dengan tulus bahkan seharusnya jadi panutan, tetapi yang terjadi adalah sebaliknya.

PARADIGMA TENTANG ANAK

Sebagai orangtua, tentunya kita semua ingin merefleksikan kembali apa artinya tentang seorang anak.  Anak bukan sesuatu yang dapat dijadikan korban secara fisik maupun mental, bukan dijadikan pelampiasan kekesalan, bukan dilempar atau dibuang ketika kekesalan dan kehidupan sosial atau ekonomi orangtua memburuk.

Sebagaimana kita jelas mengetahui bahwa anak adalah titipan Allah . Titipan Allah yang perlu dipelihara dan dididik sehingga jadi anak yang soleh, baik, berguna bagi keluarga dan bangsanya.  Apabila kita tak mampu mendidik dan menjadikan seperti yang diperintahkan oleh Allah, lebih baik tidak menjadi orangtua.

Sangat logis bahwa tuntutan untuk jadi orangtua yang benar harus diterapkan lebih dulu. Jadilah orangtua yang baik dan benar, barulah setelah itu menjadi orangtua dari anak-anaknya.

Melihat dan memperlakukan anak tidak harus semena-mena sesuai dengan kehendak dan tuntutan orangtua.  Pola dan cara mendidik anak zaman ini tidak lagi menerapkan pola seperti zaman kuno. Di zaman kuno, anak harus menurut apa yang dikatakan orangtua. Anak tak boleh membantak apa pun yang dikatakan orangtua.

Namun, sekarang paradigma seorang anak harus dipahami dengan benar.  Anak adalah seorang yang dikasihi dan dididik untuk menjadi dirinya, mandiri dan harus punya kreativitas, tangguh menghadapi hidup yang makin sulit.  Perjuangan dan motivasi yang besar perlu ditanamkan oleh orangtua kepada anak-anaknya.

APAKAH KPAI BERTANGGUNG JAWAB ATAS MASA DEPAN ANAK YANG TERLANTAR?

Ketika lima anak itu harus diserahkan kepada Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI),  saya melihat bahwa KPAI bukan pengganti orangtua.  Dia secara hukum memang melindungi kelima anak itu. Tapi secara mental, motivasi dan penyembuhan trauma, saya belum percaya KPAI akan berhasil dengan baik untuk kesembuhan luka-luka batin dan luka mental dari kelima anak itu.

Sulit dalam mencari pengganti orangtua pengganti karena sesungguhnya yang pantas jadi orangtua dari kelima anak itu adalah orangtuanya sendiri. Tapi ketika orangtua itu tak bertanggung jawab, kepada siapa kelima anak itu harus meminta pertanggung-jawaban. Di negara ini secara juridis memang berada di tangan KPAI, tapi secara psikologis dan mental sekali bukan ditangan KPAI.

Tragis itu kata yang dapat saya katakan.  Jangan jadi orangtua apabila tak mempunyai tanggung jawab sebagai orangtua.  Menjebloskan masa depan anak adalah menjebloskan bangsa ini jadi anak yang tak punya masa depan dengan moral yang bertanggung jawab.....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun