Mohon tunggu...
Muhammad ikhwan
Muhammad ikhwan Mohon Tunggu... -

Jalan tengah menuju impian

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menunggu Keberanian Jokowi

26 Januari 2015   03:53 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:22 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“SAVE KPK. Benahi Internal Polri”. Itu yang harus dilakukan Jokowi sebagai Kepala Negara. Bagaimanapun, Jokowi tak bisa lagi melihat konflik KPK vs Polri sebagai proses yang normal. Ia jangan lagi Cuma berpidato enteng, tak ingin melakukan intervensi terhadap proses hukum. Kalo ada orang yang setuju dengan pernyataan tersebut, bahwa Presiden tidak boleh melakukan intervensi dan biarkan proses hukum berjalan dengan objektif, menurut saya, adalah pandangan yang keliru. Pernyataan tersebut hanya berlaku bila proses hukum berjalan normal dan wajar. Namun untuk konteks kasus yang dialami personil KPK saat ini, terlihat sekali ada proses yang tidak normal dan penuh rekayasa. Apa saja :

1. Adanya indikasi perpecahan diinternal Polri. Dalam bahasa Tempo, ada pembentukan satgas-satgas liar di Polri dibawah kendali Komjen Budi Gunawan. Asumsi ini didukung fakta : PLT Polri, Komjen Badrodin Haiti pada pagi hari tidak mengetahui perihal penangkapan BW. Namun setelah itu baru membenarkan dan mengkonfirmasi hal itu. Artinya, penangkapan BW telah melalui proses yang tidak normal dan terlihat indikasi rekayasa kasus sebagai bentuk balas dendam Polri setelah KPK menetapkan Komjen BG sebagai tersangka kasus suap. Adanya friksi di internal Polri juga beberapa kali diungkapkan mantan wakapolri, Komjen (Purn) Oegroseno.

2. Penangkapan dilakukan secara tidak normal, seperti memperlakukan BW sebagao seorang residivis kambuhan atau bahkan teroris, dengan cara dicegat ditengah jalan hingga diborgol. Padahal, kalau Cuma mau memeriksa tersangka kasus seperti ini, tampaknya tinggal melakukan surat pemanggilan. Dalam surat penangkapan, seperti yang diungkap BW, pasal yang disangkakan juga tidak jelas. Kesalahan juga terlihat pada penulisan alamat. Belum lagi, tahapan penyelidikan terbilang super kilat. Laporan tentang BW sudah pernah dicabut dan dimasukkan kembali tanggal 19 Januari. Tanpa pengumpulan barang bukti terlebih dulu, pemeriksaan saksi dstnya, pemeriksaan tersangka, BW tiba-tiba aja langsung ditangkap pada 24 jan, atau 5 hari setelah dilaporkan. Proses penangkapan dan proses penyelidikan tersebut, dengan mudah, bisa dibaca sebagai bentuk pemaksaan kehendak untuk melakukan “pembungkaman” terhadap BW.

3. Upaya kriminalisasi dan pelemahan KPK dilakukan secara sistematis. Faktanya : setelah Komjen BG ditetapkan sebagai TSK (yg akhirnya membuat BG ditunda pelantikannya sebagai Kapolri), KPK mulai diteror dengan penyebaran foto2 tidak senonoh yang melibatkan Abraham Samad. Selanjutnya serangan juga dilakukan elit partai penguasa, PDI Perjuangan. Plt PDIP, Hasto Kristiyanto mengeluarkan tuduhan pelanggaran etik terhadap Abraham Samad karena pernah 6 kali bertemu dengan elit partai pengusung Jokowi sebagai Capres. Samad disebut berambisi menjadi Cawapres pendamping Jokowi. Hasto minta KPK menggelar sidang etik terhadap Samad.

4. Upaya pelemahan sistematis oleh PDIP juga terlihat dari 3 hal ini : Pelapor BW ke Mabes Polri adalah Sugianto Sabran, politikus PDIP. Meski ia berdalih untuk mencari kebenaran, namun tak sulit untuk menyimpulkan bahwa proses dan waktu pelaporan ini tak sekedar kebetulan belaka. Semuanya tentu sudah melalui perencanaan dan sepengetahuan elit PDIP. Fakta lainnya adalah kengototan PDIP mencalonkan BG dan melantiknya menjadi Kapolri meski sudah menjadi TSK. Menurut Ketua Umum Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia Sutiyoso, kesepakatan ini dicapai dalam pertemuan di rumah Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri di Jalan Teuku Umar, Jakarta Pusat, Selasa malam, 13 Januari 2015. Terkait relasi Mega – Jokowi, Bekas dosen saya di Paramadina berujar singkat atas sengkarut persoalan KPK vs Polri ini. Ia bilang, “ini bukan soal indifferent atau ignorance, tetapi stupidity”.

5. Setelah Samad dan BW mulai diserang, kini satu komisioner KPK lainnya juga menjadi sasaran tembak, yakni Adnan Pandu Praja. Ia dilaporkan ke Bareskrim Polri karena dituduh mengusai saham sebuah perusahaan di Kaltim, secara illegal. Adnan diadukan dengan pasal tindak pidana memasukkan keterangan palsu ke akta autentik. Lagi-lagi, celah ini menjadi bagian dari upaya sistematis untuk memberangus “kekuatan” KPK.
Melihat sejumput fakta dan kejanggalan itu, Jokowi tidak bisa lagi berlindung dibalik pernyataan, sebagai Presiden, dia tidak ingin melakukan intervensi terhadap proses hukum. Sekali lagi, hal itu hanya berlaku jika proses hukum berlangsung normal. Namun melihat apa yang terjadi saat ini, sangat jelas terlihat, upaya rekayasa dan kriminalisasi itu adalah bagian dari desain besar untuk menumpulkan KPK, utamanya terkait dalam pengusutan Komjen BG sebagai tersangka kasus suap.

Lalu, apakah Jokowi masih mau berpidato normatif, bahkan disebut-sebut kualitasnya tak lebih baik dari seorang Ketua RT? Apalagi, jika merunut ke belakang, semua dosa ini terjadi karena sikap Jokowi sendiri yang tidak tegas mengatasi persoalan.

Ya, tentu saja semuanya berawal saat Jokowi mengajukan Komjen BG sebagai calon tunggal Kapolri. Pencalonan BG ini saja sudah menuai masalah, karena sesungguhnya BG sudah di stabilo merah oleh KPK saat Jokowi mengajukan namanya sebagai calon Menteri. Dengan kondisi itu, sudah sepantasnya ia tak dicalonkan sebagai calon tunggal Kapolri. Persoalan bertambah runyam ketika tak lama kemudian, BG ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Saat itu, sebenarnya Jokowi masih punya waktu untuk menarik pencalonan Komjen BG atau meminta kebesaran hati BG mengundurkan diri dari pencalonan (seperti yang dilakukan mantan Presiden SBY kepada para menterinya ketika tersangkut kasus korupsi). Namun hal ini justru tidak dilakukan. Maka, proses selanjutnya justru mempersulit Jokowi sendiri. Jokowi malah membuat blunder baru, yakni dengan menunda pelantikan, bukan menarik atau bahkan mambatalkan pencalonan BG. Maka, bola panas selanjutnya bergulir kepada KPK. Maka dalam posisi inilah, babak baru, benih konflik Polri vs KPK mulai tersemai.

Maka, kalo mantan kepala BIN, Hendroprioyono berujar, “jangan salahkan Jokowi dalam konflik KPK vs Polri”, tampaknya adalah pernyataan yang aneh dan sulit diterima nalar sehat. Maka, kini kembali terpulang kepada Jokowi. sebagai kepala negara. Dia harus berani bersikap tegas mengambil keputusan terbaik untuk melindungi KPK dan membenahi internal Polri dari intrik dan friksi yang terjadi. Jokowi harus berani menjadi diri sendiri, bukan sebagai petugas partai, menghamba pada keinginan Mega sebagai pengendali partai tempatnya bernaung, apalagi keinginan elit partai lain yang menyokongnya menjadi Presiden. Ini bukan mudah karena sesungguhnya Jokowi adalah Presiden terlemah yang pernah ada di Indonesia. Dia bukanlah pemilik Partai, sehingga tak mampu mengendalikan konstelasi politik yang berkembang. Belum lagi kapasitas Jokowi yang belum terasah dalam konteks praktek politik nasional, apalagi menjadi Panglima tertinggi bagi Institusi raksasa yang selama ini jauh dari kehidupannya, TNI dan Polri.

Sayangnya, gerakan melawan upaya pelemahan KPK berlangsung tanpa soliditas dari masyarakat sipil. Gerakan perlawanan di Gedung KPK tidak diikuti oleh semua tokoh-tokoh yang selama ini dikenal peduli terhadap nasib bangsa. Dan kita tentu juga tidak bisa berharap dari parlemen. Kelompok oposisi yang selama ini dikenal dengan Koalisi Merah Putih, seharusnya mampu mengambil momentum ini untuk mengkritisi Jokowi dan mencari panggung untuk menarik simpati. Namun hal itu tidak akan terjadi, karena tampaknya, KMP sesungguhnya juga sangat diuntungkan bila KPK “dilemahkan”. Bukan rahasia baru lagi, kalau para politisi di KMP selama ini justru banyak yang berurusan dengan lembaga anti rusuah itu.

Berbeda dengan episode cicak buaya jilid 1 dan 2, dimana pada saat itu, media begitu kompaknya dalam bersikap menolak kriminalisasi terhadap KPK. Namun kini, meski masih menjadi arus utama, namun beberapa media tampak bersikap setengah hati mendukung gerakan “SAVE KPK”. Polarisasi media “partisan” paska Pilpres, tampaknya masih membekas hingga saat itu. Media tampak menjadi sulit bersikap kritis karena sebagian media masih dimiliki oleh politisi yang tentu saja memiliki kepentingannya masing-masing.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun