Mohon tunggu...
Idris Egi
Idris Egi Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Fishum I.kom 11730073

Selanjutnya

Tutup

Politik

Runtuhnya Kharisma Ulama

12 Januari 2015   04:55 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:20 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kabar K.H Fuad Amin tertangkap tangan oleh KPK atas kasus suplai harga gas tidak hanya menambah deretan nama koruptor di kalangan elit politik lokal, melainkan juga mencoreng nama baik ulama.

Komisioner KPK mengatakan, terdapat tiga pihak yang tertangkap dalam kasus tersebut. KPK berhasil menyita dari ketiga orang tersebut berupa bukti uang sebesar Rp 700 juta yang tak lain adalah pembayaran suplai gas sejak tahun 2007, dimana Fuad Amini (FA)  masih menjadi sebagai Bupati Bangkalan, tambahnya. (okezone.com, 2/12/2014).

Jika berita di atas benar, masyarakat (terutama Madura) akan mengalami kepanikan sosial dan penurunan kepercayaan terhadap ulama. Pasalnya, K.H Fuad Amin tidak hanya sekedar berprofesi sebagai politisi Partai Gerindra yang menjadi ketua DPRD Bangkalan dan mantan Bupati Bangkalan, melainkan juga menjadi pengasuh pondok pesantren ternama di Bangkalan.

Dalam masyarakat Madura, ulama (kyai) merupakan figur yang sangat dihormati karena memiliki kharisma. Kharisma sebagaimana dikatakan oleh Max Weber adalah keunikan yang dimiliki pemimpin karena kedekatan batiniah dengan sang ilahi dalam masyarakat. Dalam penjelasannya, Weber mengatakan bahwa pemimpin kharismatik memperoleh dan mempertahankan otoritasnya semata-maya dengan membuktikan ketangguhannya dalam hidup. Jika ingin menjadi nabi, ia harus menampilkan mukjizat; jika ingin menjadi panglima perang, ia harus melakukan tindakan heroik. Tapi yang paling penting,  misi ilahiahnya harus “membuktikan” diri bahwa mereka yang pasrah sepenuh hati padanya akan terscukupi (Sosiologi, Februari 2009).

Jika kita relevansikan teori Weber tentang konsep pemimpin kharismatik, maka ulama adalah contoh konkritnya. K.H Fuad Amin sebagai ulama, tentu memiliki pengakuan dari pengikutnya (santri) dengan segala kapasitas ilahiahnya. Namun, ungkap Weber, kharisma yang melekat pada sosok atau figur seorang pemimpin kharismatik akan hilang manakala ditinggalkan oleh Tuhannya, atau pengikutnya tidak lagi mempercainya.

Pemimpin kharismatik juga sangat didukung dengan kehidupan sosial masyarakat seperti Madura. Sehingga legitamasi kharismatik sebagai wujud dalam mempengaruhi kebijakan politik sangat mudah diterima. Hubungan sosial-budaya masyarakat Madura yang bersifat patron-klien (kyai-santri) cenderung kehilangan sikap kritis dalam menyikapi setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemimpin.

K.H Fuad Amin sebagai bupati yang tercatat semenjek 2003 dan hari ini menjadi pimpinan DPRD Bangkalan adalah wujud dari relasi kekuasaan dan kehidupan sosial tersebut. K.H Fuad Amin, selain memiliki kharisma, beliaua juga mampu menjadikan realitas sosial-budaya sebagai penopang dari kekuasaan politik yang dimiliknya.

Dengan kelebihan yang dimiliknya inilah, dinasti politik terbangun dengan sangat mudah di Bangkalan, seperti terpilihnya anaknya menjadi Bupati Bangkalan setelah kelengserannya. Seperti yang kita pahami bersama, bahwa dinasti politik bersifat parasit terhadap sistem negara yang modern.

Dinasti politik pada akhirnya tidak membuka ruang kompetitif kepada lawan-lawannya untuk bersaing secara sehat. Alhasil, segala potensi yang dimiliki lawan politiknya cenderung diabaikan. Bahkan, dalam menata struktur kepemerintahannya cenderung dibangun berdasarkan sentimen-sentimen kekeluargaan dan sangat primordialis.

Adapun program reformasi yakni untuk menciptakan desentralisasi dan otonomi daerah menjadi sia-sia belaka. Karena kuatnya dinasti politik di tingkat lokal seperti Bangkalan, tindakan korupsi sangat mudah terjadi.

Tidak bisa dibantah, desentralisasi dan otonomi daerah tidak juga mengurangi angka korupsi di Indoesia. Dalam konteks politik lokal,  desentralisasi dan otonomi daerah justru turut menyebabkan kasus korupsi meluas dan semakin tidak terkendali. Meningkatnya kasus korupsi di pusat maupun daerah menunjukkan kekuatan pengaruh pemik modal material terhadap proses pembuatan kebijakan politik. Pemilik modal material besar cenderung semakin liar dan berani membeli kebijakan publik, dengan cara menyuap pemegang kekuasaan (Politik Lokal; Pola, Aktor, dan Alur Dramatikalnya, 2014).

Dengan demikian, terutama tertangkpanya K.H Fuad Amin dalam kasus suplai harga gas menjadi awal mula untuk membebaskan Indonesia dari raja-raja kecil yang cenderung menggunakan kekuasaannya untuk menguras harta negara yang digunakan untuk kepentingan kelompok dan pribadinya sendiri. Kasus ini juga akan menambah wawasan bagi para ulama yang mempunyai legitimasi kharismatik dalam menjalankan peran dan fungsinya di masyarakat. Karena menurut Abdul Halim (Aswaja Politisasi Nahdlatul Ulama, 2014), kyai/ulama sekarang telah mengalami perubahan peran dan fungsi dari cultural broker menjadi broker political atau actor politcal yang godaan politiknya semakin tinggi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun